Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Essential Services Reform (IESR) mendesak
pemerintahan Jokowi segera memangkas
emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan bakar
batu bara.
Direktur IESR Fabby Tumiwa menyatakan saat ini belum ada usaha maksimal pemerintah terkait dengan perubahan iklim. Indonesia diketahui menjadi salah satu negara ekonomi terbesar di dunia yang menyumbang 3,5-4 persen total emisi dunia.
Sebelumnya, pemerintah menyampaikan komitmennya untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar hingga 41 persen pada 2030. Emisi GRK menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya suhu bumi.
Tapi, IESR menilai komitmen pemerintah tersebut tidak selaras dengan target temparatur Paris Agreement yakni 1,5 derajat celcius.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Climate Action Tracker (CAT), organisasi pemantau iklim berbasis riset, menyatakan emisi GRK Indonesia berasal dari sektor energi, transportasi, sampah, dan industri. Sektor energi di antaranya dari PLTU yang berbahan bakar batu bara.
"Untuk mencapai tingkat emisi [1,5 derajat celcius] tersebut, maka separuh dari pembangkit listrik batu bara harus dipensiunkan secara bertahap mulai 2025 - 2030," kata Fabby dalam satu diskusi di Jakarta, Selasa (9/10).
Dia menuturkan untuk mencapai target 1,5 derajat celcius, transisi energi fosil ke energi terbarukan harus dilakukan lebih cepat. Terutama, kata Fabby, di sektor pembangkit listrik dan transportasi darat.
Pelbagai riset menunjukkan penggunaan batu bara memengaruhi pemanasan global. China sendiri diberitakan mulai melakukan perubahan besar-besaran beralih ke energi matahari dan menutup banyak PLTU.
IESR menyatakan jika suhu ditargetkan melebihi 2 derajat celcius, maka dampaknya adalah kenaikan permukaan air laut, kekeringan hingga spesies tertentu musnah. Selain itu, kenaikan permukaan air laut itu dapat mengancam negara kecil kepulauan.
Komitmen JokowiPresiden Joko Widodo sendiri pada awal masa jabatannya menyatakan penggunaan batu bara dalam pembangkit listrik dalam 5 tahun harus diubah. Dia menuturkan tenaga lainnya berasal dari geothermal, angin hingga biomassa.
Pernyataan itu terkait dengan proyek listrik raksasa 35.000 MW.
Jokowi menuturkan pemerintah harus memberikan insentif khusus bagi pembangkit listrik untuk yang ramah lingkungan.
"Jangan disamakan dengan batu bara. Kita kan punya kekuatan dan potensi, jadi kalau semuanya konsentrasi ke batu bara, begitu habis kita tidak siap dengan geothermal, angin, ombak, surya, biomassa, bingung kita nanti," katanya.
Analisis CAT mencatat kebijakan energi di Indonesia saat ini justru bertentangan dengan tren global. Tren itu adalah saat negara lain terus mengubah energi fosil menjadi energi terbarukan.
Sementara Indonesia, kata CAT, justru masih memiliki proyeksi pembangkit listrik berbasis batu bara sebesar 27.000 MW atau lebih tinggi dibandingkan energi terbarukan yakni hanya 15.000 MW.
"Penambahan kapasitan energi untuk gas dan energi terbarukan dipangkas demi batu bara," kata CAT.
(asa)