Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat penerbangan, Alvin Lie, menyebut bahwa masih hidupnya mesin pesawat
Lion Air PK-LQP saat terjatuh ke perairan di utara Tanjung Karang menandakan penyebab jatuhnya
pesawat bukan karena mengalami kegagalan mesin.
"Tadi dari analisa sementara karena saat jatuh putaran mesin masih tinggi, berarti mesin masih punya power. Kemungkinan pesawat itu ada masalah dengan kendali, dia tidak terkendali. Jadi posisinya bisa mendongak (saat lepas landas) tapi lantas terjatuh," terangnya saat ditemui
CNNIndonesia.com, Senin (5/11) malam.
Lebih lanjut Alvin menyebut kemungkinan lain penyebab jatuhnya pesawat ini kemungkinan bisa karena sistem hidrolis pesawat bermasalah. Sistem hidrolis ini menurut Alvin adalah sistem tekanan udara di dalam pesawat yang digunakan untuk mengendalikan sistem kemudi dan menggerakkan bagian-bagian pesawat lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal senada diungkap oleh pengamat penerbangan lain, Arista Atmadjati. Menurutnya bisa jadi pesawat memang terjatuh bukan karena kegagalan mesin, tapi karena tidak terkontrol.
"Bisa jadi memang tidak terkontrol karena indikantor altitudenya ngga beres, sehingga ketinggian dan kecepatan pesawat tidak sinkron," tuturnya, saat dihubungi
CNNIndonesia.com lewat pesan teks, Senin (5/11).
Arista juga menyebut adanya kemungkinan kekacauan pada instrumen yang dibaca oleh pilot. Hal senada diungkap Alvin.
"Sehingga apa yang tertera di instrumen pesawat (yang dilihat di ruang pilot) tidak menunjukkan kondisi sebenarnya. Bisa jadi
speed-nya (kecepatan) kelihatannya tinggi, tapi
speed-nya rendah," jelasnya lagi.
Kasus pesawat jatuh dengan kondisi mesin masih menyala menurutnya juga bukan sekali ini terjadi. Sebelumnya, pada 2009 kasus serupa menimpa Air France yang bertolak dari Rio de Jeneiro, Brazil ke Paris, Perancis.
Pesawat Airbus A330 itu jatuh ke Samudra Atlantik lantaran kekacauan pengukuran pipa pitot pesawat akibat tertutup oleh es. Pipa kecil dibagian hidung pesawat ini berguna untuk mengukur kecepatan pesawat, barometer, dan naik-turun pesawat. Menurut Alvin hal tersebut karena kesalahan rancangan dari pihak pembuat pesawat.
Ketika ditanya apakah ada kemungkinan serupa yang terjadi pada penerbangan Lion Air, Alvin tak bisa memastikan sampai CVR (
Cockpit Voice Recorder) yang ada di kotak hitam pesawat ditemukan.
Terpecahnya pesawat di dalam air, disebutkan Alvin lantaran pesawat terjatuh dari ketinggian 3600 kaki dalam hitungan detik. Sehingga percepatan jatuhnya pesawat akibat gravitasi memperparah situasi jatuhnya pesawat.
"Dengan kecepatan seperti itu sistem kendali sudah tidak efektif lagi. Flap atau apa sudah tidak efektif. Pesawat ada batas maksimum kecepatan. Kalau mendekati batas maksimum kecepatan, pesawat sudah sulit dikendalikan [...] Maksimal kecepatan pesawat di sekitar 900-an km/jam."
Alvin juga melihat ada keanehan pada ketinggian pesawat setelah lepas landas. Sebab ketinggian pesawat setelah lepas landas tidak sampai 20.000 kaki. Berdasarkan data dari FlighRadar24, setelah lepas landas pesawat ada di ketinggian 5.500 kaki lantas turun ke 4.625 kaki, dan pergerakan selama 10 menit sebelum jatuh memang pesawat mengalami ketidakstabilan ketinggian.
"Ini bahaya, ini seharusnya pesawat sudah ada di ketinggian 10ribu, kalau 10 menit harusnya uda di ketinggian 20 ribu," tandasnya.
Dalam penerbangan malam sebelum kecelakaan terjadi, pesawat ini disebut memang memiliki masalah dengan sensor yang digunakan untuk mengukur ketinggian dan kecepatan pesawat. Pilot sempat melaporkan hal ini saat menerbangkan pesawat dari Denpasar ke Jakarta. Pihak Lion Air menyebut bahwa instrumen yang bermasah tersebut telah dicek oleh pekerja pemelihara pesawat dan diklaim telah siap digunakan lagi.
(jnp/eks)