Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana
China untuk mengontrol cuaca di negaranya untuk mengatasi krisis
air dipertanyakan oleh ilmuwan dari National University of Defence Technology di Beijing. Menurut Profesor Lu Hancheng, proyek bernama Sky River yang ambisius ini absurd.
"Proyek ini adalah fantasi yang absurd di pandangan landasan ilmiah maupun kelayakan teknis," ujar Hancheng kepada
ABC pada Senin (26/11).
Senada dengan Hancheng, fisikawan dan meteorolog Nate Byrne juga berpendapat bahwa proyek ini seperti terlalu menggampangkan kejadian yang harus dilakukan untuk hal besar itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita sedang berbicara tentang sejumlah besar energi yang akan diperlukan hanya untuk menguapkan air dan itu adalah pekerjaan yang secara normal dilakukan oleh Matahari," kata Byrne.
Dia melanjutkan bahwa awan perlu diarahkan ke arah yang benar agar rencana berhasil. Ini membutuhkan perubahan "tidak mungkin" dalam angin atmosfer.
"Ini masalah yang terlalu besar untuk dipikirkan ... dalam pandangan saya, tidak ada peluang nyata bahwa ini akan berhasil," katanya. "Mengarahkan [uap air] - itu adalah tugas yang sangat besar."
Pada awal 2018 silam, China mengumumkan bahwa mereka tengah mengembangkan mesin pembuat hujan atau penyemaian awan yang diklaim terbesar sepanjang sejarah. Mesin ini bertujuan untuk mengarahkan hujan dari dataran tinggi Tibet yang merupakan sumber air tawar terbesar di Asia.
Menurut
Forbes, China membangun ratusan tungku pembakaran bahan bakar di sekitar pegunungan Tibet yang rencananya dapat meningkatkan curah hujan hingga 10 miliar meter kubik per tahunnya.
Proyek ini merupakan lanjutan dari proyek Tianhae atau Sky River yang dikembangkan sejak 2016 di Universitas Tsinghua, China, yang diharapkan mampu menurunkan hujan dan salju 1,6 juta km persegi.
Proyek Tianhae sendiri memakan biaya US$19 juta atau Rp275 triliun. Mesin penyemai awan melepaskan iodida perak ke udara yang akan membuat uap air dan membentuk awan yang mampu membentuk hujan dan salju.
(eks)