Jakarta, CNN Indonesia --
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengeluarkan aplikasi yang berfungsi untuk mengetahui
gempa bumi berpotensi
tsunami. Hal tersebut bertujuan untuk membantu masyarakat supaya dapat mengenali dan mengetahui gempa bumi yang berpotensi timbulkan tsunami.
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto mengatakan aplikasi tersebut sudah ada sejak 2017 tapi sepanjang 2018 aplikasi tersebut pun terus dikembangkan. Dia juga telah berkoordinasi dengan BNPB dan Kemenristekdikti terkait aplikasi tersebut.
Rencananya, aplikasi itu akan dipatenkan 2019 tetapi belum diketahui pasti kapan waktu peluncuran akan dilakukan. Aplikasi untuk deteksi gempa berpotensi tsunami itu pun masih memiliki nama sementara yaitu Winarah Lindu. Nama tersebut masih dapat berubah nantinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada dua hal yang dapat dideteksi oleh Winarah Lindu.
"Yang pertama wilayah yang memiliki short realtime tsunami jadi jarak antara kejadian gempa kalau pemicunya gempa atau pemicunya longsor misalnya, dengan gelombang tsunami sampai ke daratan itu katakanlah 10 menit atau kurang, karena apa? Kalau itu 10 menit atau kurang dan kita standarkan pada BMKG sekarang maka ada waktu lima menit hilang," ujar Eko di Gedung LIPI, Jakarta, Rabu (2/1).
Gempa berpotensi tsunami, Eko menjelaskan, biasanya berskala di atas 6,5 SR dan guncangan dengan waktu 60 detik. Maka itu pada aplikasi tersebut akan diatur lama guncangan selama 60 detik.
Jika guncangan tetap terjadi dalam waktu tersebut maka alarm pada aplikasi akan berbunyi yang mengartikan jika gempa tersebut berpotensi tsunami.
"Potensi tsunami adalah dia bisa benar-benar memicu tsunami bisa juga tidak. Tapi kan kalau alat seperti itu tidak ada maka satu-satunya cara yang bisa dilakukan masyarakat yang realtime tsunaminya pendek setiap gempa harus lari sehingga lama-lama mereka cape dan pasrah," tuturnya.
Kegunaan yang kedua adalah untuk mendeteksi tsunami gempa bumi. Tsunami yang dipicu oleh gempa yang besar tersebut adalah yang terjadi di Mentawai pada tahun 2010 lalu.
Namun, Eko mengatakan karena gempa tersebut frekuensinya terbilang rendah menyebabkan guncangannya sangat lemah. Hal tersebut dinilainya sangat berbahaya.
"Ini sangat berbahaya ketika seperti di Mentawai 2010 ini, kejadiannya malam hari sedang hujan sehingga guncangan ini tidak membangunkan masyarakat. Alat ini dapat merekam guncangan itu sehingga berbunyi," ucapnya.
Dengan aplikasi ini, kata Eko, masyarakat dapat mengetahui gempa yang berpotensi tsunami. Alarm yang akan bunyi ketika guncangan terjadi melebihi satu menit menjadi salah satu petunjuk masyarakat untuk menyelamatkan diri dari potensi tsunami.
(gst/gst/age)