Fanatisme Barisan Buzzer dan Hoaks Jelang Pilpres 2019

Jonathan Patrick | CNN Indonesia
Kamis, 10 Jan 2019 11:10 WIB
Seorang mantan buzzer mengakui hoaks menjadi senjata untuk menjatuhkan lawan politik.
Ilustrasi. (Istockphoto/ipopba)
Jakarta, CNN Indonesia -- Gaung buzzer kian menggema jelang Pemilihan Presiden 2019. Tak jarang, peranan profesi itu semakin penting untuk mendongkrak para calon yang bertarung di Pilpres. Namun, penyebaran konten atau berita hoaks patut diwaspadai.

Dua pasangan yang bakal bertarung adalah Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Keduanya sudah mendapatkan nomor urut yakni 01 dan 02. Warga sendiri akan mendatangi TPS pada 17 April nanti di seluruh wilayah Indonesia.

Seorang mantan buzzer, Rahaja Baraha, bukan nama sebenarnya, mengakui pasukan buzzer memang sering menggunakan konten hoaks. Penyebaran berita hoaks ini tumbuh subur di antara buzzer organik atau buzzer sukarela yang mendukung satu pasangan calon. Rahaja mengatakan ada dua jenis buzzer, yakni bayaran dan organik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau organik itu tidak terkontrol penyebaran beritanya karena dia sukarela. Dia sukarela atas dasar fanatisme dan fandom," kata Rahaja baru-baru ini kepada CNNIndonesia.com.
Rahaja menjelaskan pemimpin para buzzer organik ini tidak terkontrol karena tidak dikomandoi oleh satu perintah dari satu tokoh politik atau partai politik.

Para buzzer organik ini juga merasa semakin memiliki kebebasan menyebarkan berita hoaks karena tertutup oleh ketidakjelasan sumber berita hoaks.

Fanatisme Barisan Buzzer dan Hoaks Jelang Pilpres 2019 (EBG)Ilustrasi media sosial. (Foto: REUTERS/Thomas White)
Rahaja menjelaskan sulit untuk melacak sumber hoaks tersebut. Selain itu, juga sulit untuk melacak siapa yang memulai membuat dan menyebarkan berita atau konten hoaks karena banyaknya 'kepala' tersebut.

"Karena komando juga tidak di satu orang. Akhirnya kalau mau dilacak ya tidak jelas dari siapa yang awal bicara, hoaks di sini mudah masuk. Kalau diperhatikan itu semua hoaks dan SARA karena mereka itu fanatis dan organik," ujar Rahaja.

Buzzer Berbayar

Hal ini berbeda dengan buzzer bayaran seperti dirinya. Rahaja mengatakan buzzer bayaran bisa dilacak sumber yang pertama kali mendorong isu atau suatu konten di media sosial. Pasalnya buzzer bayaran ini menggunakan influencer atau Key Opinion Leader (KOL) sebagai orang yang pertama kali mendorong isu.
"Kalau saya ini bayaran saya dibayar dan saya punya bos, ada hierarki, kalau dibayar komando satu. Komando ini yang mengatur, ketika turun ke bawah itu jadi strategi kampanye. Biasanya jarang pakai hoaks, karena bisa dilacak," tutur Rahaja.

Oleh karena itu, konten hoaks tersebut apabila dilacak, langsung mengarah ke influencer dan KOL tersebut. Pasukan buzzer bayaran tinggal mendukung untuk isu pesanan yang telah dibagikan oleh influencer atau KOL tersebut.

Rahaja mengatakan buzzer bayaran bisa membuat narasi, video, atau bahkan membuat komentar-komentar di media sosial untuk mendukung isu pesanan tersebut.

"Influencernya itu kepalanya, dari hulu ke hilir itu sudah jelas. Dia di-hire sama politikus untuk mendukung politikus, kemudian influencer bentuk tim buzzer. Bos saya influencer di Twitter, jadi kami tim buzzer-nya dukung semua omongan dia," ujar Rahaja.
Terpisah, peneliti Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) mengatakan penyebaran berita hoaks oleh buzzer organik ini juga dipengaruhi oleh fenomena 'Echo Chamber'. 'Echo Chamber' adalah pengguna media sosial berada di lingkungan pertemanan yang berpikiran serupa.

Sesuai Ideologi

Warganet memiliki kebiasaan untuk menyukai dan menerima seluruh konten yang sesuai dengan ideologi atau cara berpikirnya meskipun konten tersebut hoaks. Sebaliknya, justru warganet menolak atau tidak percaya dengan fakta-fakta yang berlawanan dengan ideologinya.

"Memang tendensi seseorang ketika mencerna medsos, ketika fanatik secara ideologi daya kritisnya jadi rendah. Artinya sering akal sehat tidak diindahkan, jadi mereka cenderung senang dengan hal-hal yang mengonfirmasi fakta-fakta yang mereka inginkan," kata Rinaldi.

Penyebaran berita hoaks diperparah dengan mudahnya membagikan konten atau berita di media sosial. Warganet sangat ringan 'jempol' untuk membagikan konten-konten yang ia sukai tanpa melakukan verifikasi ulang.

"Karena kita ini masih dalam tahap awal dari teknologi media sosial. Pola penyebaran di media sosial sangat mudah. Artinya orang dengan mudah share berita tanpa verifikasi kebenarannya," ujar Rinaldi.

Rinaldi mengatakan pelbagai inisiatif sudah dilakukan untuk menangkal penyebaran berita hoaks. Sebut saja CekFakta dan TurnBackHoaxID yang merupakan kumpulan informasi berbasis data untuk mengklarifikasi berita hoaks yang tersebar di aplikasi percakapan.

"Semakin ke sini, saya lihat banyak inisiatif untuk melakukan verifikasi atau filter hoaks. Tapi belum terintegrasi dan belum skala nasional," kata Rinaldi.

Masalah hoaks, bisa jadi membayangi pikiran setiap warga untuk mencoblos atau tidak pada April nanti. 

[Gambas:Video CNN] (age/age)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER