Jakarta, CNN Indonesia -- Menurut laporan dari
Komnas Perempuan, pada 2017 ada 65 laporan kasus kekerasan perempuan di
dunia maya yakni melakukan pendekatan untuk menipu (
cyber-grooming), pelecehan
online (
cyber harassment), dan
peretasan (
hacking).
Ada juga kasus konten ilegal (
illegal content), pelanggaran privasi (
infringement of privacy), ancaman distribusi foto atau video pribadi (
malicious distribution), pencemaran nama baik (
online defamation), dan rekrutmen
online (
online recruitmen).
Lonjakan kekerasan berbasis gender yang dilakukan secara
online (KBGO) ini mendorong SAFEnet menuntut kepada pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain mengesahkan rancangan undang-undang tersebut, SAFEnet juga mendorong pemerintah menjamin perlindungan korban KBGO.
"SAFEnet juga meminta aparat penegak hukum untuk memperhatikan kasus KBGO secara kontekstual, menindak tegas pelaku, dan tidak membuat korban sebenarnya menjadi korban dua kali dalam proses penegakan keadilan," ujar Kepala Divisi Online Safety SAFEnet Boaz Simanjuntak dikutip dari keterangan pers yang diterima CNNIndonesia.com, Senin (28/1).
Lebih lanjut, kata Boaz, pemerintah dan DPR segera merumuskan KBGO sebagai pasal yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) serta meminta masyarakat untuk menghormati hak-hak digital sesama pengguna internet termasuk hak atas rasa aman bagi perempuan dan kaum rentan.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kata Boaz tak hanya diperuntukan untuk perempuan, kaum rentan seperti LGBT juga kerap kali mengalami kekerasan di media daring.
Boaz menyampaikan bahwa korban KBGO justru rentan diperkarakan kembali oleh pelaku dan terancam hukuman pidana. Salah satu contoh kasus yakni Baiq Nuril.
"Alih-alih mendapatkan perlindungan, korban KBGO justru rentan diperkarakan kembali oleh pelakunya dan terancam hukuman pidana," terang Boaz.
Mantan pegawai honorer SMAN 7 Mataram ini menjadi sorotan publik setelah rekaman pembicaraan tak senonoh Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram Muslim beredar kepadanya pada 2014 silam.
Lalu, Muslim memecat dan melaporkan Baqi Nuril ke Polres Mataram atas dugaan melanggar Pasal 27 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pengadilan Negeri Mataram memutuskan Baiq Nuril tidak bersalah karena tidak terbukti mendistribusikan dan membuat rekaman tersebut diakses publik. Di sisi lain, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung (MA) yang kemudian dimenangkan oleh MA.
(din/eks)