Jakarta, CNN Indonesia -- Tepat 50 tahun lalu dua pasang kaki umat manusia pertama kali berpijak di permukaan Bulan pada 20 Juli 1969. Pijakan kaki
Neil Armstrong yang mewakilkan pijakan pertama umat manusia di Bulan, disusul oleh
Edwin 'Buzz' Aldrin melalui
Apollo 11.
Misi pendaratan di Bulan menjadi puncak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi hingga saat ini. Akan tetapi, banyak orang yang tidak mempercayai pencapaian luar biasa Apollo 11.
Sejumlah teori konspirasi pun bermunculan akibat rasa tidak percaya. Pada intinya, teori-teori ini menyimpulkan bahwa manusia tidak pernah mendarat di bulan dan bulan hanyalah buatan rumah produksi film. Anggaran untuk mendanai program Apollo yang memakan 2,5 persen produk domestik bruto (GDP) Amerika Serikat pun disebut hanyalah bualan belaka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
CNNIndonesia.com merangkum beberapa teori-teori konspirasi pendaratan Bulan. Tiga nara sumber yakni Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin, Marufin Sudibyo dari International Crescent Observations Project (ICOP), dan Pendiri Jogja Astro Club Mutoha Arkanuddin memberikan penjelasan terkait teori konspirasi pendaratan manusia ke Bulan.
Bintang tidak terlihat di Bulan
Pada foto-foto dokumentasi Apollo 11 di Bulan, tidak terlihat adanya bintang-bintang di langit Bulan. Padahal kalau di Bumi bintang terlihat dengan jelas.
Ketiga ahli sepakat jika bendera yang terlihat berkibar lantaran NASA memasang pipa horizontal berbentuk L terbalik. Hal ini membuat bendera yang tertahan oleh pipa dan kerutan menciptakan efek berkibar.
"Bintang tidak terlihat pada foto karena kalah cahayanya dengan cahaya latar depan dari permukaan bulan," ujar Thomas kepada
CNNIndonesia.com.Senada, Ma'rufin mengatakan jika hasil foto berupakan bagian dari teknik fotografi yangm embuat permukaan Bulan memantulkan cahaya dalam kualitas lebih besar ketimbang permukaan Bumi.
 Sarung tangan yang dikenakan astronaut pada misi Apollo 11. (Foto: REUTERS/Lindsey Wasson) |
"Makanya bukaan rana kamera harus paling kecil dan exposure time juga harus paling kecil, sekitar 1/1000 detik atau bahkan lebih kecil," ujarnya.
"Dalam setting kamera seperti itu, bintang takkan bisa difoto. Untuk mengabadikan bintang dalam kamera butuh rana lebar dan exposure time lebih besar 1/10 detik."
Ketiga ahli setuju bahwa bintang bukan tidak terlihat di Bulan, tapi para astronaut ke Bulan bukan untuk memotret bintang. Oleh karena itu, akibat permukaan Bulan sangat terang pengaturan foto disetel dengan eksposure pendek untuk menghindari gambar-gambar terlalu terang
"Bukan tidak terlihat, tapi tidak tertangkap kamera, di Bumi juga kalau kita langsung foto langit berbintang dengan kamera teknologi waktu itu tentu tidak bakal muncul itu bintang," kata Mutoha.
"Tapi sebenarnya astronaut secara visual dapat melihat. Pemotretan bintang butuh pencahayaan over agar bisa terlihat di hasil foto."
Bendera berkibar, padahal tidak ada angin di BulanFakta menunjukkan bahwa tidak ada angin di Bulan. Akan tetapi, foto-foto menunjukkan bahwa bendera Amerika berkibar.
Thomas menjelaskan getaran yang ditancapkan tiang memberi kesan seakan-akan bendera berkibar.
"Bendara dibuat agak kaku dan ada tangkai penahan di atasnya agar saat dipasang tampak jelas bendera AS, kebetulan saya melihat bendera replikanya di museum Houston. Tampak berkibar karena efek getaran saat menancapkan tiang bendera," ucap THomas.
[Gambas:Video CNN]
Ma'rufi mengatakan tiang bendera berbentuk L dan bagian atas bendera yang dibentuk tabung kain memberi kesan seperti berkibar.
"Bendera tidak berkibar. Mereka membuat tiang bendera berbentuk L + bagian atas bendera dibentuk tabung kain. Sehingga bagian atas bendera bisa dimasukkan ke tiang datar dan mengesankan seperti berkibar," ujar Marufin.
"Bukan berkibar tapi bendera itu memang tergantung di sisi atasnya, efek pegas saat bendera terbuka dan gerakan tangan astronaut menimbulkan kesan seolah berkibar," ucap Mutoha.
Sebelum sampai di Bulan. para astronaut harus melewati radiasi Sabuk Van Alen. Sabuk tersebut terdiri dari partikel dan radiasi kosmik. Para pendukung teori konspirasi menganggap tidak mungkin para astronaut bisa melewati sabuk hidup-hidup.
Ketiga ahli mengatakan NASA telah memperhitungkan segalanya dan menyimpulkan bahwa para astronaut hanya terekspos radiasi minimal.
"Sabuk Van Allen adalah kumpulan partikel energetik proton dan elektron dari matahari yang terjebak medan magnet bumi. Ketinggiannya hanya sekitar 500 km. Bulan ada di ketinggian 38 ribu km," ucap Thomas.
Menurutnya, di Bulan tidak terkena pengaruh sabuk Van Allen sehingga aman bagi astronaut. Jadi di Bulan tidak kena pengaruh Sabuk Van Allen. Angin matahari yang berisi proton dan elektron yang melintasi bulan, dalam batas yang aman bagi astronaut yang sudah menggunakan baju pelindung," tambahnya.
Ma'rufin menerangkan sabuk Van Allen bisa berbahaya jika seseorang terekspos dalam kurun waktu lama. Jika hanya dilewati dalam kurun waktu beberapa menit, maka radiasinya tak memberikan dampak bagi tubuh manusia.
"Sabuk radiasi Van Allen akan menjadi bahaya kalau orang ada di dalamnya untuk jangka waktu lama, terbilang berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Dosis serap radiasi di tubuh masing-masing astronaut akan kecil, jauh lebih kecil ketimbang ambang batas yang diperkenankan yakni 20 mrem per tahun," kata Marufin.
Mutoha sepakat jika NASA telah melakukan perhitungan matang ketika memutuskan astronaut di misi Apollo 11 melewati sabuk Van Allen. "NASA tentu sudah menghitung radiasi itu aman bagi kru pesawat Apollo. Bahkan kenyataannya jauh lebih kecil risikonya dari hasil perhitungan," ucapnya.
 Pendaratan manusia ke Bulan. (Foto: REUTERS/NASA/Handout/Files) |
Tidak ada misi lanjutan ke BulanTeori liar terkait tidak ada misi lanjutan ke Bulan kerap berkembang. Disebut-sebut pada misi program Apollo terakhir pada 1972 silam, astronaut menemukan sebuah temuan yang sangat menakutkan yang bisa mengancam keteraturan di Bumi.
Para konspirator beranggapan bahwa astronaut menemukan Alien di Bulan. Bahkan film Transformer: Dark of The Moon pada 2011 silam menunjukkan bahwa astronaut menemukan Transformer di Bulan.
Ketiga ahli beranggapan jika misi ke Bulan bukan perkara murah dan mudah. Bahkan AS pada 50 tahun lalu merogoh kocek US$25,4 miliar atau sekitar 2,5 persen GDP untuk membiayai program Apollo.
Thomas beranggapan berakhirnya program ke Bulan terkait dengan anggaran negara. "Misi Apollo berakhir 1972. Alasannya karena sudah berakhirnya program yang direncanakan dan berakhirnya juga alokasi anggarannya. Proyek Apollo adalah proyek ambisius yang sangat mahal, menyedot 2,5 persen GDP AS," ucap Thomas.
Berkaca pada kondisi saat ini, Marufi memperkirakan biaya yang dikeluarkan jika dikonversi ke dalam rupiah pada 2010 lalu misi ke Bulan bisa menelan biaya Rp220 triliun.
"Desain setiap misi Apollo mengharuskan ada minimal 3 astronaut untuk setiap penerbangan. Maka setiap misi membutuhkan Rp660 triliun. Dengan setahun ada dua misi Apollo, maka dibutuhkan Rp1,3 triliun hanya untuk ke Bulan," lanjut Marufin.
Mutoha menambahkan jika tertundanya misi ini bukan berarti kelak tidak ada lagi misi lanjutan serupa. Ia menambahkan saat ini sudah banyak wahana untuk eksplorasi bulan sehingga tidak perlu lagi mendaratkan manusia.
"Jadi robot-robot ini akan menjadi andalan, program ke depan bahkan bakal ada kolonisasi di Bulan," pungkasna.
Bayangan mengarah ke arah berbeda-bedaPada sejumlah foto dokumentasi terlihat arah bayangan tidak seragam. Hal ini dianggap menunjukkan adanya lebih dari satu sumber pencahayaan seperti di studio produksi film.
Matahari merupakan satu-satunya sumber cahaya di Bulan. Perbedaan arah cahaya disebabkan oleh permukaan Bulan yang tidak rata sehingga membuat arah cahaya menjadi tak beraturan.
"Bayangan di bulan tidak sejajar karena efek perspektif, seperti kita melihat jalur garis putih sejajar di jalan lurus juga tampak tidak sejajar," kata Thomas.
[Gambas:Video CNN]Marufin menerangkan efek lensa kamera dan posisi matahari sebagai sumber cahaya juga memengaruhi arah cahaya yang nampak tidak beraturan.
"Itu kombinasi efek lensa kamera dan kedudukan Matahari sebagai sumber cahaya non-titik yang beda dengan bintang. Efek serupa bisa didapatkan juga dalam fotografi di Bumi," pungkasnya.
Sementara itu, Mutoha menerangkan bayangan akan nampak sejajar apabila permukaan tempat jatuhnya bayangan rata, sementara permukaan Bulan tidak demikian.
"Bukti bahwa pendaratan itu ada tentu lebih banyak dan lebih valid, 500 ribu pegawai NASA kok tidak ada yang membelot mengatakan bahwa tak ada pendaratan," ucap Mutoha.
"Ahli-ahli geologi semua sepakat bahwa bartuan yang diambil di Bulan itu memang todak ada di Bumi," Mutoha.