Sebelum sampai di Bulan. para astronaut harus melewati radiasi Sabuk Van Alen. Sabuk tersebut terdiri dari partikel dan radiasi kosmik. Para pendukung teori konspirasi menganggap tidak mungkin para astronaut bisa melewati sabuk hidup-hidup.
Ketiga ahli mengatakan NASA telah memperhitungkan segalanya dan menyimpulkan bahwa para astronaut hanya terekspos radiasi minimal.
"Sabuk Van Allen adalah kumpulan partikel energetik proton dan elektron dari matahari yang terjebak medan magnet bumi. Ketinggiannya hanya sekitar 500 km. Bulan ada di ketinggian 38 ribu km," ucap Thomas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, di Bulan tidak terkena pengaruh sabuk Van Allen sehingga aman bagi astronaut. Jadi di Bulan tidak kena pengaruh Sabuk Van Allen. Angin matahari yang berisi proton dan elektron yang melintasi bulan, dalam batas yang aman bagi astronaut yang sudah menggunakan baju pelindung," tambahnya.
Ma'rufin menerangkan sabuk Van Allen bisa berbahaya jika seseorang terekspos dalam kurun waktu lama. Jika hanya dilewati dalam kurun waktu beberapa menit, maka radiasinya tak memberikan dampak bagi tubuh manusia.
"Sabuk radiasi Van Allen akan menjadi bahaya kalau orang ada di dalamnya untuk jangka waktu lama, terbilang berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Dosis serap radiasi di tubuh masing-masing astronaut akan kecil, jauh lebih kecil ketimbang ambang batas yang diperkenankan yakni 20 mrem per tahun," kata Marufin.
Mutoha sepakat jika NASA telah melakukan perhitungan matang ketika memutuskan astronaut di misi Apollo 11 melewati sabuk Van Allen. "NASA tentu sudah menghitung radiasi itu aman bagi kru pesawat Apollo. Bahkan kenyataannya jauh lebih kecil risikonya dari hasil perhitungan," ucapnya.
 Pendaratan manusia ke Bulan. (Foto: REUTERS/NASA/Handout/Files) |
Tidak ada misi lanjutan ke BulanTeori liar terkait tidak ada misi lanjutan ke Bulan kerap berkembang. Disebut-sebut pada misi program Apollo terakhir pada 1972 silam, astronaut menemukan sebuah temuan yang sangat menakutkan yang bisa mengancam keteraturan di Bumi.
Para konspirator beranggapan bahwa astronaut menemukan Alien di Bulan. Bahkan film Transformer: Dark of The Moon pada 2011 silam menunjukkan bahwa astronaut menemukan Transformer di Bulan.
Ketiga ahli beranggapan jika misi ke Bulan bukan perkara murah dan mudah. Bahkan AS pada 50 tahun lalu merogoh kocek US$25,4 miliar atau sekitar 2,5 persen GDP untuk membiayai program Apollo.
Thomas beranggapan berakhirnya program ke Bulan terkait dengan anggaran negara. "Misi Apollo berakhir 1972. Alasannya karena sudah berakhirnya program yang direncanakan dan berakhirnya juga alokasi anggarannya. Proyek Apollo adalah proyek ambisius yang sangat mahal, menyedot 2,5 persen GDP AS," ucap Thomas.
Berkaca pada kondisi saat ini, Marufi memperkirakan biaya yang dikeluarkan jika dikonversi ke dalam rupiah pada 2010 lalu misi ke Bulan bisa menelan biaya Rp220 triliun.
"Desain setiap misi Apollo mengharuskan ada minimal 3 astronaut untuk setiap penerbangan. Maka setiap misi membutuhkan Rp660 triliun. Dengan setahun ada dua misi Apollo, maka dibutuhkan Rp1,3 triliun hanya untuk ke Bulan," lanjut Marufin.
Mutoha menambahkan jika tertundanya misi ini bukan berarti kelak tidak ada lagi misi lanjutan serupa. Ia menambahkan saat ini sudah banyak wahana untuk eksplorasi bulan sehingga tidak perlu lagi mendaratkan manusia.
"Jadi robot-robot ini akan menjadi andalan, program ke depan bahkan bakal ada kolonisasi di Bulan," pungkasna.
Bayangan mengarah ke arah berbeda-bedaPada sejumlah foto dokumentasi terlihat arah bayangan tidak seragam. Hal ini dianggap menunjukkan adanya lebih dari satu sumber pencahayaan seperti di studio produksi film.
Matahari merupakan satu-satunya sumber cahaya di Bulan. Perbedaan arah cahaya disebabkan oleh permukaan Bulan yang tidak rata sehingga membuat arah cahaya menjadi tak beraturan.
"Bayangan di bulan tidak sejajar karena efek perspektif, seperti kita melihat jalur garis putih sejajar di jalan lurus juga tampak tidak sejajar," kata Thomas.
Marufin menerangkan efek lensa kamera dan posisi matahari sebagai sumber cahaya juga memengaruhi arah cahaya yang nampak tidak beraturan.
"Itu kombinasi efek lensa kamera dan kedudukan Matahari sebagai sumber cahaya non-titik yang beda dengan bintang. Efek serupa bisa didapatkan juga dalam fotografi di Bumi," pungkasnya.
Sementara itu, Mutoha menerangkan bayangan akan nampak sejajar apabila permukaan tempat jatuhnya bayangan rata, sementara permukaan Bulan tidak demikian.
"Bukti bahwa pendaratan itu ada tentu lebih banyak dan lebih valid, 500 ribu pegawai NASA kok tidak ada yang membelot mengatakan bahwa tak ada pendaratan," ucap Mutoha.
"Ahli-ahli geologi semua sepakat bahwa bartuan yang diambil di Bulan itu memang todak ada di Bumi," Mutoha.
(jnp/evn)