Jakarta, CNN Indonesia -- Adat ketimuran dan Pasal 27 UU ITE ayat 1 soal kesusilaan di media sosial dijadikan patokan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk memanggil YouTuber gim Kimberly Khoe alias Kimi Hime.
Menanggapi hal ini, Regional Coordinator Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Damar Juniarto mengakui definisi kesusilaan yang tak dijelaskan secara rinci dalam UU ITE memang menjadi perdebatan. Akan tetapi, memang tepat apabila Kimi dikenakan pasal 27 ayat 1 UU ITE.
"Bila melihat video tersebut, maka persoalan cara pendistribusian mungkin tepat bila menggunakan pasal 27 ayat 1 UU ITE. Namun bila melihat rumusan pokok kesalahan Kimi Hime, terus terang ada perdebatan mengenai apa yang dimaksud dengan muatan yang mengandung kesusilaan dalam konten video Kimi Hime," kata Damar saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Selasa (30/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perlunya definisi yang jelas soal pelanggaran kesusilaan ini juga diamini oleh pakar keamanan siber dari CISSReC Pratama Prasadha. Menurutnya, regulator memang perlu membuat regulasi yang jelas dan rigid. Sehingga bbisa menjadi panduan yang jelas bagi para pembuat konten.
"Harapannya dengan adanya regulasi tersebut pada nantinya tidak lagi menimbulkan multitafsir terhadap ketentuan-ketentuan yang disampaikan," tandasnya ketika dihubungi, Selasa (30/7).
Judul Clickbait BermasalahDamar menjelaskan bahwa konten Kimi Hime memang tidak melanggar UU Pornografi karena tidak ada gambar yang berisi unsur pornografi. Ia mengatakan dalam pasal 1 angka 1 UU Pornografi menjelaskan memberikan definisi mengenai pornografi.
"Isi videonya tidak lebih dari upaya mendokumentasikan permainan game dengan medium video. Tidak ada tindakan yang bisa dikategorikan sebagai pornografi, sebagaimana diatur dalam UU Pornografi, yaitu pasal 1 angka 1 UU Pornografi," kata Damar.
Namun berdasarkan penelusuran
CNNIndonesia.com, batasan lebih jelas tentang pornografi ada di Pasal 4 ayat 1. Konten pornografi yang dilarang adalah yang memuat persenggamaan, kekerasan seksual, masturbasi atau onani, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan, ketelanjangan, alat kelamin, atau pornografi anak.
Lebih lanjut, meski tak melanggar pornografi, Damar mengakui masalah utama berada pada judul multi tafsir dan menggunakan bahasa
gimmick demi kepentingan clickbait.
"Namun memang ada persoalan dengan judul pada video yang multi-tafsir, menggunakan bahasa gimmick yang menarik orang untuk mengklik video tersebut atas ketertarikan pada judul," katanya.
Damar mengatakan UU Pornografi merupakan
lex specialis karena penyebarluasan konten pornografi melalui internet tidak diatur secara khusus dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP dan UU ITE bahkan tidak memiliki istilah kejahatan pornografi.
Akan tetapi seperti UU ITE, KUHP juga mengatur pelanggaran terhadap kesusilaan. Aturan kesusilaan tertuang dalam pasal 282 KUHP.
"Dalam KUHP juga tidak dikenal istilah atau kejahatan pornografi. Namun, ada pasal KUHP yang bisa dikenakan untuk perbuatan ini, yaitu pasal 282 KUHP mengenai kejahatan terhadap kesusilaan. Begitu pun dalam UU ITE, juga tidak ada istilah pornografi, tetapi muatan yang melanggar kesusilaan," ujar Damar.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia Information and Communication Technology (ICT) Heru Sutadi menjelaskan pemblokiran konten dengan menggunakan pasal karet Pasal 27 ayat 1 UU ITE bisa menjadi api liar bagi seluruh pengguna media sosial di Indonesia.
"Saya khawatir 'blokir' konten bisa ke mana-mana tergantung Kemenkominfo menerjemahkan Pasal 27 ayat 1 UU ITE. Ini yang jadi kekhawatiran kan misal orang olahraga senam, renang, loncat indah atau video musik juga akan kena aturan blokir," kata Heru.
Heru menegaskan Kemenkominfo tidak memiliki kapasitas untuk menentukan konten yang melanggar kesusilaan. Kemenkominfo perlu melibatkan berbagai pemangku kebijakan untuk menentukan pelanggaran kesusilaan.
Heru meminta agar Kemenkominfo membentuk Tim Pertimbangan dan Pengawasan Konten yang melibatkan berbagai pemangku kebijakan.
"Jadi harus menggandeng lembaga lain, misal Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), nanti terkait sport bisa ke Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), agar tidak salah vonis," katanya
Demi edukasi konten, Kemenkominfo diharapkan Heru transparan dalam menyampaikan alasan pemblokiran. Alasan tersebut juga harus bisa dipertanggungjawabkan.
"Dan ketika banyak wilayah menjadi abu-abu dan masyarakat tak mengerti mana yang boleh dan mana yang dilarang, artinya edukasi dan literasi juga belum secara baik dilakukan Kemenkominfo," kata Heru.
Berawal dari laporan
Kasus Kimi Hime bergulir berawal dari laporan oleh Asosiasi Pengawasan Penyiaran Indonesia (APPI) kepada Komisi I DPR RI akibat konten-konten Kimi Hime yang yang dianggap melanggar kesusilaan. Oleh karena itu, Kemenkominfo melalui Dirjen Aplikasi dan Informatika (Aptika) mengundang Kimi Hime untuk membicarakan video-video miliknya yang dianggap melanggar kesusilaan.
Tindak lanjut dari Kemenkominfo adalah menghapus tiga video Kimi Hime. Tiga video yang dihapus YouTube adalah "Strip Challenge - Mati Satu Kali = Buka Baju", "Lagi Tegang, Eh Keluar Putih-Putih!?", dan "Keasyikan Bermain, Gadis Ini Mengeluarkan Cairan Lengket".
Kemenkominfo juga memberikan pembatasan umur ke enam video Kimi. Video tersebut hanya bisa ditonton oleh penonton YouTube berusia 18 tahun ke atas.
Awalnya, Kemenkominfo menganggap Kimi Hime tidak melanggar UU No. 44 Tahun 2008 tentang pornografi. Sebab konten Kimi Hime tidak ada yang menyalahi definisi pornografi yang ada dalam peraturan itu. Namun, kemudian Kemenkominfo mengenai pasal 27 ayat 1 UU ITE terhadap Kimi karena dianggap melanggar kesusilaan.
Pada Senin (29/7), kuasa hukum Kimi Hime bertemu dengan Kemenkominfo, pertemuan tidak dihadiri oleh Kimi Hime. Dalam pertemuan ini disepakati bahwa frasa kesusilaan harus diperjelas dalam aturan agar tidak terjadi multi tafsir. Aturan ini akan menjadi acuan para pembuat konten untuk menghasilkan konten-konten positif.