Peneliti Pusat Penelitian Limnologi LIPI, M. Fakhrudin mengatakan urbanisasi yang berujung pada perubahan lahan tak terkendali menyebabkan kemampuan daya resap sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) di Jabodetabek terhadap air hujan menjadi menurun.
"Hal ini menyebabkan proporsi jumlah air hujan yang dikonversi langsung menjadi aliran permukaan atau direct
run-off akan cenderung terus meningkat," ujarnya
Pembangunan pesat tak terkendali di Jakarta membuat ruang hijau semakin terkikis. Padahal ruang hijau memiliki kontribusi untuk mencegah banjir. Pasalnya ruang hijau merupakan sumber resapan air terbesar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fakhrudin lebih lanjut menyarankan agar pemerintah bisa memperbaiki sistem peringatan dini agar tidak hanya berdasarkan tinggi muka air (water level) pada sungai-sungai di hulu.
Menurutnya sistem peringatan dini juga harus dikombinasikan dengan curah hujan. Data-data tersebut juga harus bisa diakses masyarakat sebagai peringatan dini.
Oleh karena itu, Fakhrudin menyarankan agar pemerintah dan masyarakat bisa bahu membahu membuat sumur resapan untuk meningkatkan sumber resapan.
"Kita harus siap sebagai warga. Atau kita mengurangi tadi banjir itu sendiri. Ya mungkin buat sumur resapan. Kalau massal saya kira bagus sekali," katanya.
 Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi |
Fakhrudin mengatakan selama periode waktu 31 Desember 2019 hingga 1 Januari 2020, curah hujan kategori ekstrim (>150 mm/hari) telah dominan terjadi di wilayah DKI Jakarta yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak tahun 1990-an.
Di sisi lain, sebaran curah hujan di daerah penyangga seperti wilayah Bogor dan Depok didominasi dengan kategori hujan lebat. Fakhrudin menjelaskan hujan memang menjadi faktor utama banjir di hilir. Sementara aliran sungai di hulu meningkatkan besaran dan lamanya banjir.
(jnp/dal)