Jakarta, CNN Indonesia -- Letak geografis dan topografi, diperparah dengan pembangunan kota yang mengesampingkan pendekatan lingkungan membuat daerah Ibu Kota
Jakarta rentan terhadap
banjir.
Perubahan iklim, frekuensi hujan yang bertambah, dan cuaca ekstrem juga dinilai menambah risiko bencana banjir di Ibu Kota. Atas dasar itu, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sepakat mengatakan penanganan banjir di Jakarta memerlukan pendekatan aspek hidrologi dan ekologi.
Menyoal sisi ekologi, Presiden
Joko Widodo sempat menyebut salah satu penyebab banjir di awal tahun baru 2020 ini di Jakarta dan sekitarnya karena kerusakan ekosistem dan ekologi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena ada yang disebabkan kerusakan ekosistem, kerusakan ekologi yang ada. Tapi juga ada yang memang karena kesalahan kita yang membuang sampah di mana-mana. Banyak hal," kata Jokowi di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (2/1).
Dari sisi kualitas ekologi, LIPI mengakui bahwa kualitas ekologi di Jakarta dan sekitarnya menurun. Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Iptek dan Inovasi LIPI, Galuh Syahbana penurunan kualitas ekologi ini dapat dilihat dari konversi lahan-lahan hijau menjadi ruang terbangun.
Dari sisi Ekologi, urbanisasi yang cepat dan tidak terkendali tanpa memerhatikan aspek lingkungan membuat daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) semakin rawan banjir.
Galuh mengatakan investor sering kali melakukan negosiasi dengan pemerintah terkait untuk menggarap sebuah daerah dengan memerhatikan aspek ekonomi tanpa memerhatikan aspek lingkungan.
Seharusnya pembangunan tersebut mengikuti kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
"Misalnya harus ada Amdal, saya bilang di sini ada negosiasi. Artinya akan membangun kompleks pemukiman baru itu mau kecil, sedang, besar, itu harus dilihat dari kacamata pembangunan kota secara umum," kata Galuh di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa (7/1).
[Gambas:Video CNN]Ahli Geografi Perkotaan ini juga mengatakan Indonesia baru serius menyadari aspek rawan bencana dan lingkungan pada 2007. Saat itu pemerintah menelurkan Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Galuh mengatakan aturan tersebut memberikan wewenang bagi Pemerintah Daerah untuk melarang pembangunan yang tidak memerhatikan aspek lingkungan.
Kendati demikian dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), seringkali banyak pemangku kebijakan yang tidak mengikuti aturan RTRW tersebut. Galuh lebih lanjut menyarankan agar setiap pemangku kebijakan memiliki peta RTRW yang sama untuk mematuhi kajian-kajian lingkungan.
"Tata ruang itu sudah jelas fungsi lindung, fungsi ini budidaya. Tapi apakah itu dirujuk misalnya oleh KLHK yang memiliki hutan, memiliki lahan begitu banyak," kata Galuh.
Kejar Aspek Ekonomi, Tutup Mata Aspek LingkunganSeringkali pembangunan yang beralasan untuk memajukan ekonomi, kajian lingkungan dalam alih fungsi lahan tak diperhatikan. Padahal Galuh mengatakan kajian atas lingkungan ini diperlukan agar Jakarta terbebas dari bencana banjir.
Pembangunan tak terkendali ini disebabkan oleh Zaman Otonomi Daerah yang telah berjalan 23 tahun di mana Pemerintah Daerah didorong untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
"Daerah digenjot, dipaksa DPRD, maka ada konsekuensi dia harus mencari ruang-ruang untuk menggenjot PAD-nya. Ruang itu bukan konservasi, karena tidak ada nilai uangnya," kata Galuh.
Galuh mengatakan masalah ini menjadi pragmatis karena dari sisi ekonomi, aspek lingkungan dan konservasi lingkungan ini tidak menghasilkan uang.
Oleh karena itu, Galuh mengatakan pemerintah daerah sering abai dan mengizinkan pembangunan tanpa memerhatikan aspek lingkungan. Ia mengatakan terdapat negosiasi antara pemerintah daerah dengan pihak pengembang atau investor.
"Pembiaran sengaja ya. Ada aspek tadi, proses negosiasi politik antara pemilik daerah, mau itu (misalnya) Kabupaten Bogor, Kota Bogor dengan para pemilik lahan katakanlah investor. Saya pikir itu masalah di kita. bagaimana katakanlah vila-vila beberapa dibongkar, beberapa susah dibongkar," ujar Galuh.
BKSP Jabodetabekjur Tak Efektif Atasi Masalah LingkunganUntuk mengatasi masalah pembangunan tak terkendali, sesungguhnya pemerintah memiliki Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur). Badan ini berfungsi untuk mengkoordinasi pembangunan lintas pemerintah daerah dan pusat.
Galuh menilai badan ini tidak efektif karena tidak memiliki wewenang yang luas dan hanya sekadar rutin melakukan rapat. BKSP dibentuk berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) 13 Tahun 1976.
"Saya berpendapat BKSP Jabodetabekjur tidak efektif karena itu karena tidak ada fungsi wewenang lebih luas untuk eksekusi," kata Galuh.
Galuh lebih lanjut mengatakan beberapa kajian memberikan alternatif untuk membentuk badan alternatif di luar BKSP agar memiliki taji dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM), wewenang, dan dari sisi pendanaan.
"Salah satu alternatif yang bisa misalnya di bawah presiden, atau level kementerian, atau yang lainnya yang pasti mempunyai wewenang otoritas dan sumber daya lebih baik daripada BKSP sekarang," ujarnya.
Ia mengatakan sesungguhnya saat era pemerintahan Gubernur Sutiyoso (Bang Yos) pernah ada ide untuk membuat badan di luar BKSP untuk melakukan koordinasi pembangunan lintas pemerintahan pusat dan daerah.
Hanya saja ide tersebut harus pupus karena banyak pihak khawatir Sutiyoso memiliki wewenang besar. Padahal Galuh mengatakan alternatif yang ditawarkan Sutiyoso adalah kegelisahan terkait pengelolaan lingkungan di Jabodetabekjur tak cukup dengan BKSP.
"Sebenarnya dulu waktu ada isu dari Bang Yos soal megapolitan itu salah satunya. Untuk memberikan otoritas lebih besar. Meskipun pada saat itu ada proses politik tidak lancar karena Bang Yos dirasa ingin mengambil alih kepala daerah," ujarnya.
Peneliti Pusat Penelitian Limnologi LIPI, M. Fakhrudin mengatakan urbanisasi yang berujung pada perubahan lahan tak terkendali menyebabkan kemampuan daya resap sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) di Jabodetabek terhadap air hujan menjadi menurun.
"Hal ini menyebabkan proporsi jumlah air hujan yang dikonversi langsung menjadi aliran permukaan atau direct
run-off akan cenderung terus meningkat," ujarnya
Pembangunan pesat tak terkendali di Jakarta membuat ruang hijau semakin terkikis. Padahal ruang hijau memiliki kontribusi untuk mencegah banjir. Pasalnya ruang hijau merupakan sumber resapan air terbesar.
Fakhrudin lebih lanjut menyarankan agar pemerintah bisa memperbaiki sistem peringatan dini agar tidak hanya berdasarkan tinggi muka air (water level) pada sungai-sungai di hulu.
Menurutnya sistem peringatan dini juga harus dikombinasikan dengan curah hujan. Data-data tersebut juga harus bisa diakses masyarakat sebagai peringatan dini.
Oleh karena itu, Fakhrudin menyarankan agar pemerintah dan masyarakat bisa bahu membahu membuat sumur resapan untuk meningkatkan sumber resapan.
"Kita harus siap sebagai warga. Atau kita mengurangi tadi banjir itu sendiri. Ya mungkin buat sumur resapan. Kalau massal saya kira bagus sekali," katanya.
 Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi |
Fakhrudin mengatakan selama periode waktu 31 Desember 2019 hingga 1 Januari 2020, curah hujan kategori ekstrim (>150 mm/hari) telah dominan terjadi di wilayah DKI Jakarta yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak tahun 1990-an.
Di sisi lain, sebaran curah hujan di daerah penyangga seperti wilayah Bogor dan Depok didominasi dengan kategori hujan lebat. Fakhrudin menjelaskan hujan memang menjadi faktor utama banjir di hilir. Sementara aliran sungai di hulu meningkatkan besaran dan lamanya banjir.