Ahli Bicara Alat Rapid Test Corona Arahan Jokowi

CNN Indonesia
Kamis, 19 Mar 2020 14:37 WIB
Metode rapid test untuk mendeteksi virus corona yang menyebabkan Covid-19 tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
Ilustrasi Rapid Test sesuai arahan pemerintah. (Foto: iStockphoto/busracavus)
Jakarta, CNN Indonesia -- Konsultan genom di Laboratorium Kalbe, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo menyatakan metode rapid test untuk mendeteksi virus corona yang menyebabkan Covid-19 tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
 
Dalam jurnal berjudul 'Antibody responses to SARS-CoV-2 in patients of novel coronavirus disease 2019', dia mengatakan sensitivitas rapid test serologi sekitar 36 persen dari 100 kasus Covid-19. Tingkat persentase itu, dia mengatakan membuat pemerintah harus hati-hati.
 
"Sensitivitas tes serologi itu sekitar 36 persen, kalau tidak salah. Jadi dari 100 kasus yang terkonfirmasi Covid-19 dia bisa mendeteksi sekitar 30. Jadi itu harus hati-hati," ujar Ahmad Rusdan kepada CNNIndonesia.com, Kamis (19/3).
 
Sebelumnya, juru bicara pemerintah untuk penanganan Virus Corona, Achmad Yurianto, mengatakan pihaknya tengah mempertimbangkan metode baru pemeriksaan cepat atau rapid test Covid-19.

Tes ini berbeda dari tes polymerase chain reaction (PCR) atau genome sequencing yang mengambil sampel dari tenggorokan, kerongkongan, atau hidung. Rapid test akan dilakukan dengan spesimen darah bukan dari air liur di tenggorokan.

Selain itu, tes ini juga tidak butuh sarana pemeriksaan laboratorium pada biosecurity level II. Sehingga, bisa dilaksanakan di hampir semua lab kesehatan di rumah sakit di Indonesia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Metode Rapid Test Lebih Cepat
 
Ahmad Rusdan menjelaskan rapid test merupakan metode diagnostik jenis penyakit melalui antibodi. Menurutnya, jika ada kuman yang masuk ke dalam tubuh manusia, maka akan menimbulkan reaksi demam. Demam terjadi karena terjadi proses pengenalan antigen oleh sistem imun.
 
Sistem imun menurutnya membutuhkan waktu sekitar satu hingga dua minggu untuk memproduksi antibodi. Prinsip antibodi itulah yang menurut Ahmad bisa dideteksi oleh rapid test.
 
"Jadi kalau hasilnya positif tidak ada masalah. Tapi kalau negatif hati-hati, karena belum tentu negatif. Karena itu perlu waktu," ujarnya.
 
Sebab, seperti telah dijelaskan sebelumnya, metode rapid test hanya bisa mendeteksi penderita yang sudah terinfeksi 7-10 hari. Jika masa infeksi di bawah angka tersebut, penderita masih bisa lolos dari pemeriksaan.

Metode PCR

Metode deteksi kedua adalah polymerase chain reaction (PCR) yang fungsinya untuk mengenali infeksi aktif. PCR, kata dia mengukur langsung materi genetik yang hidup.
 
"Jadi misalnya orang yang terinfeksi itu dari PCR akan terlihat jumlah virusnya berapa banyak. kalau orang yang sudah mulai recovery, itu jumlah partikelnya bisa diukur, 'oh mulai menurun nih'."

Metode PCR membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyimpulkan seseorang positif atau negatif dari Covid-19. Berdasarkan standar Kementerian Kesehatan, dia menyebut metode itu membutuhkan waktu tiga hari untuk membuat kesimpulan.
 
Terkait dengan hal itu, Ahmad Rusdan mengatakan rapid test harus dilakukan secara terbatas, misalnya di bandara atau di pelabuhan. Sambil menunggu bagasi, orang dari luar negeri yang tidak mungkin langsung diperiksa di RS bisa diambil darahnya untuk diperiksa. Namun, meski hasilnya negatif, menurutnya pemerintah tetap harus waspada.

Sedangkan untuk pasien suspect corona, dia mengatakan tetap harus menggunakan PCR yang sudah teruji akurasinya.
 
"Kalau pakai PCR ternyata negatif, mungkin bisa dibantu dengan serologi. Tapi lini pertama harus pakai PCR itu untuk pasien," ujar Ahmad Rusdan

Meski lama, menurutnya metode PCR tidak membutuhkan uji genome sequencing untuk memastikan sebagaimana yang terjadi di Indonesia saat ini. Sebab, dia menegaskan real-time PCR merupakan standar diagnostik.
 
Genome sequencing atau pengurutan genom dari DNA virus, menurutnya merupakan metode yang digunakan untuk penelitian. Sehingga, cara ini tidak menuntut kecepatan.
 
"Saya khawatir kalau lab rujukan (dengan PCR) sudah mengatakan positif, lalu di Litbangkes (Kemenkes) di sequencing itu bisa berubah jadi negatif. Maka dalam kondisi seperti ini lebih baik positif palsu daripada negatif palsu," ujarnya.
 
Selain tak bisa singkat, sampel untuk metode PCR terbilang sulit karena harus mengambil apusan hidung atau tenggorokan. Akibat hal itu, terjadi penumpukan di beberapa rumah sakit karena harus mengantri pemeriksaan. Petugas medis dalam metode PCR juga memerlukan Alat Pelindung Diri agar tidak tertular.
 
[Gambas:Video CNN]

Libatkan Puskesmas dan Polsek

Ahmad Rusdan menuturkan pemerintah pusat harus melibatkan Puskesmas ketika resmi menggunakan metode rapid test untuk mengidentifikasi Covid-19. Sebab, dia berkata puskesmas memiliki sumber daya manusia dan fasilitas yang tak kalah lengkap dari rumah sakit.
 
Pada prosesnya, masyarakat yang merasa mengalami gejala Covid-19, seperti demam atau batuk kering cukup menghubungi Puskesmas terdekat untuk mengatur waktu rapid test sambil mengisolasi dirinya. Hal itu dilakukan untuk menghindari kerumunan di Puskesmas.
 
"Jadi jangan juga masyarakat langsung tanpa janji datang ke Puskesmas, jangan," ujarnya.
 
Setelah rapid test dilakukan, dia berkata masyarakat dengan gejala harus kembali ke rumah untuk kembali melakukan self isolation dan menunggu hasil. Jika positif, pemerintah harus melakukan karantina.
 
Sedangkan Puskesmas wajib menelepon pasien minimal dua kali sehari. Dia meminta telepon rumah pasien yang dihubungi seperti Singapura. Selain merasa diperhatikan, hal itu untuk memastikan kondisi dan keberadaan pasien positif Covid-19.

Selain Puskesmas, dia menyarankan pemerintah melibatkan Polsek dalam mengawasi pasien positif Covid-19. Pelibatan itu agar pemerintah lebih cepat mendeteksi pasien positif yang pergi selama proses karantina di rumah.
 
Lebih dari itu, dia meminta pemerintah atau puskesmas mengirimkan menjemput pasien ketika gejala semakin parah. Dia meminta pihak terkait Covid-19 membiarkan orang positif secara pribadi menuju RS karena bisa menimbulkan kasus baru.
 
"Ini intinya desentralisasi penting banget. Jangan sampai orang ngumpul di satu tempat. Makanya libatkan komunitas hingga puskesmas. Jangan semua langsung ke RS," ujarnya.

Ahmad Rusdan menuturkan lockdown dan social distancing merupakan hal yang diperlukan karena membatasi pemerintah mengetahui jumlah pasti warga yang terinfeksi.

Sebab, fungsi pengendalian wabah adalah untuk mengetahui posisi virus. Sehingga, pemerintah harus mengetahui secara detil lokasi warga yang terinfeksi guna mengambil sebuah tindakan. Setelah itu, pemerintah bisa melakukan isolasi ketika mengetahui seseorang terinfeksi Covid-19. (jps/eks)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER