Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengatakan pandemi
virus corona Covid-19 yang mengurangi aktivitas manusia di luar ternyata tak mengurangi titik panas (
hotspot) maupun titik api (
firespot) penyebab kebakaran hutan dan lahan (
karhutla).
Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca, Tri Handoko Seto mengatakan ia tidak menuding manusia sebagai penyebab hotspot dan firespot tersebut. Akan tetapi, faktanya
hotspot dan
firespot tetap muncul terutama menjelang musim kering atau kemarau.
"Yang terjadi ternyata tetap muncul hotspot dan firespot. Sehingga teman teman di lapangan tetap bekerja, patroli helikopter tetap berjalan. Jadi masa pandemi ya tetap ada
firespot dan
hotspot," ujar Tri dalam konferensi pers virtual, Rabu (13/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kementerian Lingkungan Hidup bersama BMKG, BPPT dan BRG (Badan Restorasi Gambut) memutuskan untuk melakukan operasi modifikasi cuaca untuk membasahi lahan gambut di Riau dan Jambi, serta di Sumatera Selatan.
Operasi akan berlangsung selama 30 hari, 15 hari di Riau dan Jambi serta 15 hari di Sumatera Selatan. Operasi dilakukan karena
firespot dan
hotspot mulai bermunculan menjelang musim kering atau kemarau.
Riau khususnya memiliki dua musim kemarau, yakni pada Februari hingga Maret dan pada sekitar bulan Juli. Oleh karena itu, operasi TMC dilakukan untuk membasahi lahan gambut untuk mengurangi potensi karhutla di musim kemarau.
Tri mengatakan TMC secara garis besar bertujuan untuk membuat rekayasa hujan buatan agar membasahi lahan gambut. Pembasahan lahan gambut dilakukan agar tinggi muka air (TMA) lahan gambut menyusut.
"Ini untuk menjaga tinggi muka air tanah gambut itu bisa dijaga tidak turun lebih dari 40 cm sesuai dengan ketentuan yang ada," kata Tri.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam, BPPT Yudi Anantasena mengatakan hujan buatan dimaksudkan untuk membasahi lahan-lahan gambut di musim kemarau, dengan mengisi kanal-kanal, embung dan kolam-kolam retensi areal guna mencegah lahan gambut tersebut terbakar.
Sebagaimana kita diketahui di Provinsi Riau, Jambi dan Sumatera Selatan beberapa wilayah lahan bergambut terbakar berulang sejak 2015-2019.
"Ada peraturan yang mengharuskan lahan gambut harus terendam air 40 cm. Air permukaan kalau berkurang tidak boleh lebih dari 40 cm. Kalau kurang dari situ maka sudah siaga, potensi kebakaran jadi besar," kata Yudi.
Penerbangan perdana penyemaian awan, mulai dilaksanakan pada 11 Mei lalu di Provinsi Riau dan Jambi. Sekitar 20 ton garam telah disiapkan di Posko TMC Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, untuk pelaksanaan operasi TMC selama 15 hari ke depan.
Yudi mengatakan pada operasi tahun sebelumnya, tim TMC mampu meredam hotspot di Provinsi Riau.
"Pada Maret hingga awal April lalu, dilaporkan hampir setiap hari terjadi hujan. Hotspot turun hingga sempat 0 titik," ujarnya
Tri menjelaskan lebih baik mencegah karhutla daripada memadamkan api saat terjadi karhutla. Oleh karena itu, operasi TMC tetap dilakukan meski di tengah pandemi Covid-19.
Ia mengatakan musim kemarau terus membuat penurunan tinggi muka air tanah lahan gambut. Tri menjelaskan TMC bisa membantu menahan lanjut penurunan muka air tinggi muka air tanah lahan gambut.
"Tentu lebih mudah sekarang daripada nanti ada api, kalau ada api itu ada unsur tergesa-gesaan. Kalau sekarang kita bisa monitor. Kalau ada awan kita bisa semai di sana," kata Tri.
BPPT mengatakan KLHK menganggarkan sekitar Rp5,2 miliar untuk melakukan operasi TMC selama 30 hari di Riau, Jambi dan Sumsel.
Anggaran ini sesuai PP No 51 Tahun 2018 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP. BPPT mengatakan tak memegang kendali begitu anggaran sudah masuk. Anggaran akan masuk ke kas negara dalam waktu 1 x 24 jam.
(jnp/dal)
[Gambas:Video CNN]