Seiring dengan perluasan penyebaran virus corona dan kejenuhan masyarakat di tengah pembatasan sosial, keberhasilan penemuan vaksin Covid-19 menjadi begitu ditunggu. Beragam perusahaan farmasi dan lembaga penelitian dari berbagai negara gencar mengadakan riset dan uji coba dalam upaya menemukan vaksin Covid-19.
Ketua Ikatan Keluarga Alumni Notariat Unpad (IKANO) Ranti Fauza mengatakan, segala kegiatan itu agar tak hanya dimaknai dari aspek ekonomi, namun juga sosial.
"Dari aspek sosial yaitu sebagai sebagai sarana pemulihan kesehatan masyarakat (public health recovery), yang dapat secara mudah diakses oleh publik, tanpa mengabaikan segala jerih payah pihak inventor dan hak ekonomi beserta hak moral yang melekat pada inventor tersebut," kata Ranti dalam webinar New Normal Tema: Langkah Strategis Perolehan Dan Perlindungan Paten Bidang Vaksin dan Farmasi di Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian di Universitas Padjajaran, Kamis (2/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada dasarnya, kata Ranti, dengan adanya paten dapat memberi dampak positif, seperti terhadap aktivitas inovasi karena akan memberi dampak hak monopoli terbatas pada pemilik paten. Selain itu, paten juga akan memberikan insentif bagi inventor untuk secara berkelanjutan memberikan alokasi dana dan perhatian terhadap pentingnya aktivitas riset dan juga pengembangan, untuk menciptakan keunggulan yang lebih kompetitif.
Upaya Indonesia dalam bidang paten, dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang paten, yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten. Penggantian Undang-Undang ini, termasuk penyesuaian substansial terhadap perkembangan hukum di tingkat nasional maupun internasional, seperti sudah mengakomodir mengenai perjanjian perdagangan internasional yang dikeluarkan oleh World Trada Organisation (WTO), dalam Persetujuan tentang Aspek-Aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights) atau TRIPs serta peningkatan pelindungan paten yang disebut sangat penting bagi inventor dan pemegang paten, karena dapat memotivasi inventor untuk meningkatkan hasil karya, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Guru Besar Kekayaan Intelektual dan Pakar Kekayaan Intelektual Ahmad M. Ramli menjelaskan, saat ini masyarakat bertanya-tanya tentang hak paten atas obat atau vaksin Covid-19. Untuk produk farmasi khususnya obat dan vaksin dalam masa pandemi, pelaksanaan paten bisa dilaksanakan oleh pemerintah, di mana Indonesia punya hak untuk melakukannya.
"Indonesia mempunyai hal untuk melaksanakan paten untuk vaksin dan obat itu. Pemerintah dalam pasal 109 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang paten yang baru, dapat melaksanakan paten sendiri berdasarkan pertimbangan yang berkaitan keamanan negara atau kebutuhan yang sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat dan pelaksanaan paten oleh pemerintah, dilakukan secara terbatas dan tidak boleh dijual dengan harga yang mahal serta tidak untuk ekspor," ungkap Ahmad.
Ia menambahkan, Indonesia dapat menggunakan mekanisme seperti pada TRIPS WTO untuk pemanfaatan paten asing, agar bersoal dengan ketentuan hukum internasional.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Paten Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham Dede Mia Yusanti mengatakan, paten pada dasarnya adalah hak yang diberikan oleh negara terhadap invensi dalam bidang teknologi, yang harus memenuhi syarat-syarat kebaruan, serta memiliki
langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri walaupun masih berupa ide atau gagasan, sehingga invensi sudah bisa dilindungi oleh paten, sebelum invensi itu menjadi produk.
"Khususnya dalam bidang kefarmasian, untuk negara-negara yang sudah paham akan sistem paten, umumnya mereka akan mengajukan permohonan paten seawal mungkin sebelum diproduksi, bahkan memajukan begitu banyak senyawa. Dan kemudian dari begitu banyak senyawa tersebut, jika ditemukan senyawa terbaik, akan didaftarkan kembali, karena dalam pendaftaran paten kita mengenal yang namanya selection invention dan mereka tetap mengajukan yang terbaik dari yang pernah diajukan, intinya paten itu tidak hanya sekedar produk, tetapi termasuk proses," ujar Dede Mia.
Sementara, Direktur Operasi Bio Farma, M. Rahman Roestan mengatakan, paten merupakan salah satu barrier to entries dalam industri farmasi. Dengan memiliki paten, perusahaan bisa membatasi ruang gerak perusahaan lain untuk berinovasi, karena harus menunggu lisensi obat yang memiliki paten telah selesai (off-patent) bisa memakan waktu yang lama. Oleh karenanya, sangat penting bagi industri farmasi nasional untuk berinovasi dengan memprioritaskan penemuan produk obat baru dengan harga yang terjangkau.
"Penelitian dan inovasi untuk produk farmasi memakan waktu yang lama, dengan risiko yang cukup tinggi. Oleh karenanya diperlukan kolaborasi dengan berbagai macam pihak, seperti dengan pihak akademisi dan lembaga penelitian, dengan skema kerja sama penelitian produk (join reserach), kerja sama pengembangan produk (join development), dan transfer teknologi (technology transfer), serta dukungan dari pemerintah, regulator, dan komunitas," ujarnya.
Rahman menambahkan, uniqueness dalam industri farmasi terletak pada penemuan baru lebih banyak pada tahap proses produksi dari suatu produk. Dengan invensi tersebut, produsen farmasi bisa menjadi pemilik paten. Ditambah inovasi dan perlindungan Kekayaan Intelektual, maka akan tercipta sustainability, yang pada akhirnya akan menciptakan competitive advantage bagi perusahaan bagi dan organisasi yang terlibat di dalamnya.
"Dalam menemukan keterbaruan proses produksi yang akan berujung pada mendapatkan paten, Bio Farma tidak bisa berjalan sendiri diperlukan kolaborasi dan sinergi dengan berbagai pihak lembaga penelitian dan universitas baik dari dalam negeri maupun luar negeri, termasuk bantuan diplomasi dari Kementerian Luar Negeri RI," kata Rahman.
(rea)