Perekayasa model simulasi prediksi dampak normal baru dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menilai penularan virus corona Covid-19 yang terjadi di Indonesia masih belum aman meskipun data menunjukkan proses penyembuhan pasien lebih cepat dibandingkan awal pandemi.
Perekayasa utama dari model simulasi prediksi dampak normal baru dari BPPT Sri Handoyo Mukti mengatakan tren penularan Covid-19 di Indonesia yang semakin tinggi masih belum aman.
"Dan sewaktu-waktu masih bisa meledak," kata dia mengutip Antara, Jumat (24/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sri Handoyo menjelaskan tren kasus baru Covid-19 menunjukkan masih terjadinya penularan di lapangan dan potensi penularan ke lebih banyak orang karena melihat jumlah populasi Indonesia.
Kendati demikian dia menerangkan bahwa data lama perawatan pasien di rumah sakit untuk proses penyembuhannya menjadi lebih singkat.
"Pada awal-awal pandemi itu penyembuhan dalam 100 hari, sekarang ini sekitar dua hingga tiga pekan," katanya.
Selain itu Sri Handoyo juga mengungkap sebanyak 80 persen dari seluruh kasus positif Covid-19 di Indonesia merupakan tanpa gejala. Sementara 20 persen orang dengan gejala ringan, sedang, hingga berat. Dari 20 persen kasus positif yang terkonfirmasi tersebut sebanyak 18 persen membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit.
Dia juga menerangkan saat ini fasilitas kesehatan juga masih dapat menangani pasien Covid-19 yang membutuhkan perawatan. Namun idealnya kapasitas rumah sakit harus menyediakan 50 persen tempat tidur kosong untuk antisipasi apabila terjadi lonjakan kasus di Indonesia.
Menurutnya, fasilitas kesehatan saat ini sudah tidak memiliki kendala dalam menangani pasien Covid-19 dibandingkan awal-awal terjadinya pandemi.
Sri Handoyo menjabarkan pola penularan virus pada awal pandemi hingga memasuki transisi normal baru ini masih sama. Namun, dia menekankan pola penularan kasus bisa berubah bergantung dari intervensi dan juga pola hidup maupun mobilitas masyarakat.
Pembatasan kontak fisik pada masa PSBB, menurut Sri Handoyo, sebetulnya mampu menurunkan puncak kasus harian. Namun kebijakan PSBB tersebut berimplikasi pada masalah lain yaitu dampak ekonomi sosial sehingga terjadi tekanan ekonomi.
"Kalau pertumbuhan ekonomi terdampak, permasalahannya akan merembet ke masalah sosial, politik, budaya, pertahanan, dan keamanan," kata dia.
Lihat juga:Sejarah Suburnya Hoaks Saat Pandemi Baru |
Lebih lanjut, BPPT menyebut tiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam penanganan Covid-19 memiliki efek samping yang mempengaruhi aspek lain dalam berkehidupan dan bernegara, khususnya aspek ekonomi.
"Kebijakan PSBB untuk menurunkan kasus yang ada, efek sampingnya adalah penurunan daya beli masyarakat karena ketahanan ekonomi masyarakat ada batasnya," katanya.
Sri Handoyo mengungkapkan bahwa kebijakan PSBB berhasil membatasi gerak masyarakat untuk mencegah penularan virus corona baru. Kebijakan tersebut juga berdampak pada penurunan jumlah kasus harian.
Namun, menurutnya, PSBB harus berhadapan dengan kestabilan ekonomi dan status sosial politik, sehingga menjadi sistem yang sangat kompleks. Dia mengatakan pelaksanaan PSBB yang terlalu lama akan berdampak pada masalah ekonomi dan lebih jauh juga akan berdampak pada masalah sosial dan keamanan.
"Kalau pertumbuhan ekonomi terdampak, permasalahannya akan merembet ke masalah sosial, politik, budaya, pertahanan, dan keamanan," kata dia.