Vaksin besutan Eijkman ternyata sempat menapaki sejarah kelam lantaran mendapat fitnah keji dan menjadi kambing hitam ketika era penjajahan Jepang.
Peneliti sekaligus Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman 1992-2014 Sangkot Marzuki bercerita, era itu adalah salah satu catatan sejarah mengerikan terkait vaksinasi.
Saat itu, beberapa peneliti Eijkman ditangkap dan disiksa Jepang terkait dengan pemberian vaksin tetanus. Tak terkecuali Kepala Lembaga Penelitian Eijkman di Jakarta, Achmad Mochtar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sangkot bahkan menduga Jepang sengaja menjadikan Mochtar sebagai kambing hitam terkait kegagalan vaksinasi tetanus pada masa penjajahan Jepang itu.
Insiden ini berlangsung saat Jepang mulai goyang diserang Sekutu pada tahun 1944-1945. Hampir seribu pekerja paksa zaman jepang atau pekerja romusha di Klender, Jakarta, tewas dengan menunjukkan gejala tetanus yang disertai kejang-kejang.
Sebelum insiden kematian massal itu, atas perintah Jepang, Staf Lembaga Eijkman menyuntikkan cairan vaksin TCD (tifus, kolera, disentri) kepada para pekerja romusha.
Menurut penuturan Sangkot, memang saat itu Indonesia hanya memiliki dua lembaga penelitian, yakni Lembaga Pasteur di Bandung (saat ini Bio Farma) dan Lembaga Eijkman di Jakarta. Direktur Pasteur Institute adalah orang Jepang, sementara Eijkman dipimpin oleh Mochtar.
Akibat insiden kematian itu, lalu muncul dalih dan tuduhan untuk Eijkman, khususnya Mochtar yang saat itu menjabat sebagai direktur. Jepang menuduh Mochtar dan stafnya sengaja mengganti vaksin dengan bakteri tetanus sebagai upaya membunuh para pekerja romusha.
Polisi Jepang mulai menangkap staf Eijkman. Menurut Sangkot, mereka disiksa dengan perlakuan yang keji seperti dipukul, disetrum, hingga dibakar.
Karena tak mendapatkan bukti, pada Januari 1945 Jepang membebaskan staf-staf Eijkman dalam keadaan yang mengenaskan. Dua dokter, Marah Achmad Arif dan Soeleiman Siregar meninggal dunia dalam tahanan akibat siksaan. Sedangkan Achmad Mochtar dijatuhi hukuman mati dengan hukuman pancung pada 3 Juli 1945.
Sangkot lantas mencoba memahami peristiwa itu lewat sains, berdasarkan pengakuan para penyintas, dan keluarga Mochtar. Alhasil, ia menduga saat itu Mochtar sengaja dikambinghitamkan untuk menutupi kejahatan perang yang dilakukan Jepang.
Jepang pra proklamasi memang sedang 'gusar' sebab tentara Sekutu sudah mulai dekat dengan kawasannya. Mereka panik dan membutuhkan sebuah vaksin untuk tetanus. Sebab, saat itu tetanus merupakan salah satu penyakit mematikan dan berbahaya. Sehingga penyakit ini mengancam jumlah dan kesiapan tentara Jepang.
"Jadi lebih banyak yang meninggal karena tetanus. Kalaupun perang, ya mati setelah terkena tetanus itu," jelas Sangkot dalam sebuah Obrolan Pra-terbit yang dilakukan secara daring, Sabtu (5/9).
Tetanus bak menjadi musuh tak terlihat pada saat itu. Oleh sebab itu, muncul dugaan besar kalau Jepang langsung menguji vaksin tetanus tanpa diuji kepada hewan terlebih dulu. Alih-alih vaksin itu diduga langsung diuji ke manusia. Hal itu sangat potensial terjadi, sebab saat itu kondisi Jepang sangat terdesak.
Menurut Sangkot, vaksin tetanus dalam teknisnya diuji coba dan dibuat bukan terhadap bakteri, namun terhadap toksin atau racunnya. Sehingga, kematian pada tetanus disebabkan karena racun yang dikeluarkan oleh bakteri itu mampu membuat korban kejang-kejang.
"Jadi dugaannya bahwa kejadian itu terjadi karena Lembaga Pasteur (yang) dipimpin Jepang itu mencoba membuat vaksin. Tapi gagal dalam menetralisasi dalam toksinnya, itu dugaan," lanjut Sangkot.
Sedangkan saat itu, posisi lembaga penelitian hanya dipegang oleh orang Jepang dan Mochtar. Hal itu menjadikan Mochtar sangat mudah dikambing hitamkan atas kejahatan keji dan fitnah kegagalan vaksinasi saat itu.
Sangkot bilang, kriminalisasi terhadap Mochtar sangat potensial, sebab saat itu kedudukan Mochtar cukup terpandang. Selain ia menjadi Direktur Eijkman, ia pun menjabat sebagai wakil rektor sekolah kedokteran Ika Daigaku pada zaman Jepang (saat ini Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia).
"Ada beberapa faktor kenapa Mochtar dihabisi, salah satunya bahwa kejadian yang terjadi di Klender itu sangat merusak citra Jepang," tuturnya.
Selain itu, sebelum eksekusi dijatuhkan pada Mochtar, ia memutuskan menjadi martir dengan menandatangani perjanjian dengan Kempeitai. Dalam perjanjian itu, Mochtar bersedia dinyatakan bersalah atas kematian ratusan romusha dan bakal mengakui tuduhan sabotase bila para koleganya dilepaskan.
Oleh sebab itu, bila melihat kelam Mochtar yang wafat pada usianya yang ke 53 tahun. Sangkot merasa tak adil bila nama Mochtar tidak harum di kalangan anak bangsa.
Pengorbanannya dalam dunia kedokteran patut dijadikan pengingat bagaimana kepiawaiannya dalam sains, serta untuk mengingatkan bagaimana kekejian masa penjajahan Jepang saat itu.
"Saya melihat di situ ada ketidakadilan yang dilakukan terhadap Mochtar, ketidakadilan yang dilakukan terhadap Eijkman. Dan ini saya rasa perlu, bahwa ini patut dianggap sebagai catatan kejahatan perang," kata Sangkot.
Sangkot bilang, perkenalannya dengan figur Mochtar dimulai saat Ibunya memberikan sebuah buku bertajuk 'Drama Kedokteran Terbesar'.
Buku tersebut berisi memoar dan pengakuan para sejawat Mochtar yang juga merupakan para penyintas atas kekejaman yang dilakukan oleh Polisi Jepang (Kempeitai).
Dalam bukunya nanti, Sangkot mengaku bakal menunjukkan figur Mochtar kepada publik sepanjang 320 halaman.
Sangkot tak ragu menyebut Achmad Mochtar sang martir kedokteran di Tanah Air.
Kisah kelam lampau yang terjadi pada Mochtar, membuat Sangkot ingin mengabadikan sosok sang martir-yang namanya bahkan tak beken dikenal bangsa, dalam sebuah novel sejarah.
Sangkot dan J.Kevin Baird dari University Oxford memulai sebuah diskusi sejarah dan memutuskan merangkum kisah kelam Mochtar dalam sebuah buku bertajuk 'Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang: Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Romusha 1944-1945'.
(khr/eks)