Fenomena lintang kemukus menjadi topik pembicara di Facebook dan Twitter pada akhir minggu kemarin. Warganet heboh dengan kehadiran lintang kemukus di kota sekitar Tuban dan Bojonegoro, Jawa Timur.
Fenomena ini mulai dibicarakan pada Sabtu (10/10) malam. Peneliti dari Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan) Emanuel Sungging merupakan istilah tradisional untuk bintang berekor, bisa meteor bisa komet.
"Karena nenek moyang kita hanya melihat tanpa mempelajari perbedaan keduanya," kata Sungging saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (12/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sungging menjelaskan meteor atau bintang jatuh merupakan batu luar angkasa yang memasuki atmosfer Bumi dengan mengalami proses penguapan. Sementara komet adalah sebongkah benda luar angkasa yang mengandung es, batu, serta serpihan debu.
Lihat juga:4 Fenomena Langit pada Minggu Kedua Oktober |
Lebih lanjut Sungging menyatakan fenomena lintang kemukus kali ini kemungkinan adalah meteor karena kejadian fenomena ini berbarengan dengan berbagai puncak hujan meteor.
Diketahui, ada tiga puncak hujan meteor terjadi bersamaan atau hampir bersamaan dengan lintang kemukus. Ketiga puncak hujan meteor tersebut adalah Draconid (8/10), Taurid Selatan (10/10), dan Delta-Aurigid (11/10).
"Sementara kita setiap saat sepanjang tahun (bisa diikuti pada ig kami), selalu ada fenomena hujan meteor yang terjadi. Kadang hujan meteor-nya besar, kadang kecil, tergantung pada banyak faktor," ujar Sungging.
Sungging juga menyatakan bahwa hujan meteor ini tidak berbahaya dan normal terjadi. Meski normal terjadi, lintang kemukus sering tak terlihat di langit akibat adanya polusi di langit.
"Berbeda dengan jaman nenek moyang kita yang masih sangat minim polusi cahaya, sehingga fenomena lintang kemukus itu bisa diamati dengan mudah," tutur Sungging.
Terpisah, Peneliti LAPAN Rhorom Priyatikanto mengatakan lintang kemukus yang terlihat di Jatim bukanlah komet, tapi merupakan meteor yang terbakar di atmosfer pada ketinggian puluhan km (fireball/ bola api).
Kendati demikian ia mengatakan jejak bola api seharusnya tidak terbentuk seperti yang tertangkap kamera.
"Namun, biasanya jejak fireball tampak lebih terang dan tidak tampak merah seperti yang beredar," kata Rhorom.
Rhorom juga mengatakan sampah antariksa bisa menghasilkan jejak di langit seperti di gambar. Namun Rhorom mengatakan tidak ada sampah antariksa berukuran besar yang lewat sekitar Jatim saat itu.
"Alternatif lain adalah petir di stratosfer (sprite) atau di ketinggian lebih dari 70 km. Sprite biasa tampak berwarna merah dan vertikal. Namun, tidak seterang petir biasa," kata Rhorom.