Astronom Institut Teknologi Bandung (ITB) Hakim Luthfi Malasan menyatakan diskusi eksplorasi kekayaan astronomi dalam budaya Indonesia baru dilakukan sekitar 12 tahun lalu. Dia mengatakan eksplorasi itu diorganisir oleh Kala Sunda dan Observatorium Bosscha ITB.
"Sebenarnya titik awal kita secara sistematik mencoba menginventarisasi dan mendiseminasikan, serta mencoba bertukar budaya terkait dengan astronomi itu mungkin baru 12 tahun yang lalu," ujar Hakim dalam diskusi virtual, Sabtu (7/11).
Hakim menuturkan Kala Sunda berani menginisiasi hal itu karena memiliki cukup amunisi, yakni kalender Sunda dan praktik Sunda yang dibawa dari tatar Parahyangan. Dilaksanakan di Bosscha tahun 2008, dia berkata partisipan diskusi itu kebanyakan berasal dari Jawa Barat dan DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasil dari diskusi itu kemudian dipublikasikan dalam Prosidings. Meski masih cikal bakal, dia menyampaikan cukup banyak kontribusi yang akhirnya membantu peneliti membentuk klasifikasi dari berbagai macam folklor atau serangkaian praktik yang menjadi sarana penyebaran berbagai tradisi budaya.
Misalnya, folklor Kalender Sunda, Betara Kala, Bima Sakti, mitologi Batak, hingga monumen monolitik yang memiliki prinsip astronomi, tapi kebanyakan dipakai untuk tujuan religius.
"Tanah air kita yang sangat luas seperti ini menyembunyikan kekayaan kebudayaan yang harus terus digali sampai kapan pun," ujarnya.
Lebih lanjut, Hakim mengatakan astronomi masih harus dipopulerkan di Indonesia. Sebab, dia mengatakan masih banyak pihak yang tidak mengetahui astronomi secara mendalam.
Dalam olimpiade sains misalnya, dia mengatakan kurang dari 5 persen siswa yang bisa menjawab soal terkait dengan gugus bintang tujuh yang digunakan oleh petani di Pulau Jawa pada abad ke-17 untuk menentukan waktu menanam padi.
"Sains modern menunjukkan sinkronnya apa yang dilakukan secara kuantitatif dengan apa yang dipraktikkan oleh nenek moyang kita di masa lalu," ujar Hakim.
Pada abad ke-17, dia menceritakan petani di Pulau Jawa mempunyai kebiasaaan menggunakan gugus bintang tujuh (Pleiades) untuk menentukan waktu menanam padi. Mereka melakukan pengamatan dengan menggunakan selonsong bambu yang diisi penuh dengan air, lalu diarahkan ke gugus bintang tujuh di arah timur.
"Isi air yang tumpah akan menandakan bahwa posisi gugus bintang tujuh itu cukup tinggi untuk menjadi pertanda dimulainya musim menanam padi dalam tahun tersebut," ujarnya.
Adapun selonsong bambu yang digunakan memiliki panjang 100 cm dan berdiameter 10 cm. Ketika selongsong bambu diarahkan ke gugus bintang tujuh ternyata air yang tumpah adalah sebanyak 0.785 liter.
"Secara saintifik hasilnya adalah 0,785 liter. Pertanyaan astronom secara insting, kapan itu terjadi? Keluarlah manipulasi matematik yang menyebut bahwa itu terjadi setiap 5 Desember," ujar Hakim.
Lebih dari itu, dia mengklaim sesuatu yang secara modern dikaji secara saintifik, secara praktis sudah dilakukan nenek moyang manusia sejak dulu.
(panji/agt)