Peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB), Andri Dian Nugraha menyatakan tsunami tidak hanya rawan terjadi di Pulau Jawa. Dia mengatakan zona subduksi terbentang dari Sumatra hingga Papua.
"Saya rasa di Indonesia, sepanjang zona subduksi dari pantai barat Sumatra, selatan Jawa, selatan Bali, selatan Maluku, sampai ke utara Sulawesi dan sebagainya, serta Papua daerah utara adalah daerah rawan tsunami," ujar Andri dalam webinar yang diselenggarakan ITB, Rabu (23/9).
Andri mengatakan zona subduksi yang ada di laut dapat menimbulkan tsunami jika mengalami perubahan formasi, terlebih ketika gempa dengan magnitudo yang besar dan dangkal, kurang dari kedalaman 40 kilometer.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melansir LIPI, zona subduksi merupakan suatu zona yang mempunyai tingkat kegempaan sangat tinggi yang disebabkan adanya suatu pergerakan konvergensi antara dua lempeng tektonik.
Secara seismologi, Andri berkata gempa yang menyebabkan tsunami bisa dianalisis. Dia menyebut hal dapat dilakukan dengan cara melihat magnitude, frekuensi, kedalaman, hingga mekanisme sumbernya.
"Saya kira bisa dilakukan analisis ketika terjadi gempa yang kuat di laut atau di daerah-daerah yang punya potensi perpindahan kolom air," ujarnya.
Peneliti ITB Sri Widiyantoro menyampaikan laut selatan Jawa memiliki daerah yang relatif sepi gempa atau seismicity gap. Namun, dia berkata daerah itu berpotensi melepaskan magnitudo yang besar ketika aktif.
Berdasarkan simulasi selama 3 jam dengan hasil inversi data GPS, Sri menyebut Jawa Barat (selatan Banten) bisa diterjang tsunami setinggi 20 meter jika dilakukan periode ulang 400 tahun. Sedangkan di Jawa Timur (selatan Blitar) bisa setinggi 12 m.
"Bagaimana kalau segmen barat dan timur pecah bersama seperti di Tohoku, Jepang, tahun 2011 maka kita lihat di sebelah barat bisa 20 meter, timur 12 meter, namun rata-ratanya bisa lebih tinggi, sekitar 5 meter," ujar Sri.
Terkait dengan hal itu, dia menyampaikan prediksi itu perlu dilakukan dengan studi lebih lanjut berupa marine survey sebagaimana yang diusulkan LIPI. Dia juga berkata hal itu perlu dilakukan mengingat penelitian yang dilakukan saat ini belum memodelkan longsoran di laut ketika gempa besar.
"Untuk memodelkan itu kita harus tahu daerah mana yang akan longsor ketika gempa besar maka perlu marine survey," ujarnya.
Sebelumnya, Sri Widiyantoro mengungkapkan hasil riset soal potensi tsunami yang dapat mencapai 20 meter di pantai selatan Jawa Barat dan 12 meter di selatan Jawa Timur.
Menurutnya, tidak ada gempa besar bermagnitudo 8 atau lebih dalam beberapa ratus tahun terakhir mengindikasikan ancaman gempa tsunamigenik dahsyat di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa.
Ini seperti yang ditemukannya dalam studi terbaru tim yang dipimpinnya menggunakan data gempa dari katalog BMKG dan katalog International Seismological Center (ISC) periode April 2009 sampai November 2018.
Hasil pengolahan data gempa itu menunjukkan adanya zona memanjang di antara pantai selatan Pulau Jawa dan Palung Jawa yang hanya memiliki sedikit aktivitas kegempaan.
"Karena itu kami mengidentifikasinya sebagai seismic gap," ujar Widyantoro dalam penjelasan tertulis, Jumat (18/9).
Selain analisis data gempa dan tsunami, tim memanfaatkan data GPS dari 37 stasiun yang dipasang di Jawa Tengah dan Jawa Timur selama enam tahun terakhir untuk mempelajari sumber gempa di masa mendatang.
Hasil pengolahan data dengan teknik inversi data GPS ini juga digunakan sebagai model simulasi numerik tinggi tsunami di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa jika terjadi gempa besar.
Dengan membandingkan bidang deformasi yang diamati dengan model gerakan lempeng dalam jangka panjang, hasil inversi data GPS dapat mengungkap proses akumulasi regangan saat ini yang kemungkinan mencerminkan pembentukan energi regangan jangka panjang.
Jika deformasi GPS yang diamati lebih kecil daripada laju gerak lempeng (defisit slip), area tersebut berpotensi menjadi sumber gempa pada masa mendatang.
Widyantoro menerangkan pendekatan dan asumsi yang digunakan dalam studi ini serupa dengan yang digunakan untuk penelitian Palung Nankai di Jepang. Dengan mengadopsi asumsi ini, area laju gerak lempeng yang tinggi bisa pecah secara terpisah atau bersamaan saat terjadi gempa.
Luas zona defisit slip di selatan Jawa Barat setara dengan gempa bumi bermagnitudo 8,9 dengan asumsi periode ulang gempa 400 tahun sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya.
"Untuk periode ulang yang sama, zona dengan defisit slip tinggi di bagian timur setara dengan gempa bermagnitudo 8,8. Sedangkan jika kedua zona defisit slip tersebut pecah dalam satu kejadian gempa, maka akan dihasilkan gempa dengan kekuatan sebesar Mw 9,1," kata Widiyantoro.
Untuk memperkirakan potensi bahaya tsunami di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa, tim melakukan pemodelan tsunami dengan tiga skenario, yaitu pada segmen Jawa bagian barat, segmen Jawa bagian timur, dan segmen gabungan dari Jawa bagian barat dan timur.
Hasilnya antara lain potensi tsunami yang sangat besar dengan ketinggian maksimum 20,2 meter di dekat pulau-pulau kecil sebelah selatan Banten dan 11,7 meter di Jawa Timur.
"Tinggi tsunami bisa lebih tinggi daripada yang dimodelkan jika terjadi longsoran di dasar laut seperti yang terjadi saat Gempa Palu dengan magnitudo 7,5 pada 2018," bunyi hasil riset itu.