Windhi memastikan bahwa tidak ada kaitannya antara kandungan vaksin terhadap autisme pada anak. Hal ini sudah terbukti pada penelitian lebih dari 10 tahun.
Thimerosal merupakan salah satu kandungan vaksin yang sempat dituduh memicu autisme pada anak. Thimerosal berfungsi sebagai pengawet vaksin.
Amerika Serikat pernah menghapuskan kandungan thimerosal pada tahun 1999 karena takut bahwa kandungannya bisa memicu autisme. Tapi, setelah thimerosal dihapuskan, angka autisme di Amerika Serikat tidak turun.
"Angka autis malah naik. Artinya tidak ada hubungan antara autis dengan thimerosal," kata Windhi.
Peneliti juga melihat kadar thimerosal pada tubuh anak autis dan anak non autis. Hasilnya, tidak ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini semakin menguatkan bahwa thimerosal tidak menyebabkan autisme, melainkan genetika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Windhi sel janin memang pernah digunakan pada tahun 1960.
"Jadi, kalau ada yang bilang ada sel janin yang digunakan, itu terjadi pada tahun 1960-an, di mana digunakan secara legal untuk membuat vaksin dan itu sekali saja proses yang terjadi."
Lebih lanjut, ia menjelaskan virus memang perlu inang berupa sel hidup untuk bisa bertahan dan berkembang biak.
Dalam pembuatan vaksin, virus memang akan menginfeksi sel hidup itu dan diproduksi berulang-ulang selama bertahun-tahun dengan meninggalkan sel awal. Sedangkan yang diambil sebagai komponen vaksin adalah bagian dari virus atau virusnya tersendiri.
"Lantas apakah dalam vaksin ada sel janin? Jawabannya, hanya ada hasil produknya, yakni berupa virusnya saja," kata Windhi.
Lihat juga:Israel Beli 8 Juta Vaksin Corona Pfizer |
Menurut Windhi beberapa riset menunjukkan penurunan angka vaksinasi memicu kenaikan penyakit spesifik yang dilawan vaksin tersebut.
Hal ini sempat terjadi di Indonesia pada medio akhir 2017 lalu. Awalnya wabah difteri terjadi di Jawa dan merambah ke Sumatra. Pemerintah pun memutuskan untuk melakukan imunisasi nasional dan menggratiskan imunisasi difteri hingga usia 19 tahun.
"Polio sempat muncul kembali di Papua, padahal kita pernah dapat bendera bebas polio dari WHO," jelas Windhi.
Windhi menyampaikan bahwa isu ini hanya terjadi di Indonesia. Bahkan di Timur Tengah dengan negara berpenduduk mayoritas Muslim, pro kontra terhadap kehalalan vaksin tidak terjadi. Semua masyarakat dunia pun sepakat pentingnya vaksin.
"Dan peserta haji wajib divaksin. Makanya saya bilang lucu, kenapa di kita doang. Jadi pemicunya ada Trypsin yang dipinjam dari enzim babi untuk hasilkan panen yang baik. Supaya dapat komponen vaksin," kata Windhi.
Ia mengatakan, masyarakat perlu memahami bahwa tidak ada bagian babi yang masuk dalam vaksin. Enzim ini akan dimurnikan kembali sehingga komponen perantara tidak ikut masuk pada vaksin. Ketika dalam proses pembuatannya bersinggungan dengan enzim dari babi, pada produksi akhirnya hanya virus yang masuk dalam vaksin.
"Seandainya tetap tidak mau. Karena bersinggungan, kita merujuk negara lain yang maju yang mayoritas Muslim dan MUI yang sudah sampaikan halal. Untuk kebaikan dan dalam keadaan mencegah penyakit yang lebih berat dan berbahaya, vaksin halal," katanya.