Ahli Luruskan Mitos Vaksin Covid-19, Sel Janin hingga Babi

CNN Indonesia
Kamis, 19 Nov 2020 08:40 WIB
Ahli meluruskan mitos seputar vaksin Covid-19, mulai dari penggunaan sel janin aborsi hingga kandungan babi.
Mitos vaksin Covid-19 yang disebut mengandung babi dan janin bayi aborsi (iStockphoto/Vladans)
Jakarta, CNN Indonesia --

Ada beberapa mitos tentang vaksin Covid-19 dan imunisasi yang berseliweran di tengah masyarakat.  Tidak sedikit mitos vaksin membuat masyarakat enggan menjalani vaksinasi untuk menangkal virus corona.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengamini bahwa satu  dari sepuluh ancaman kesehatan global adalah keraguan orang atas vaksin.

Namun, vaksin merupakan cara mencegah infeksi penyakit tertentu dengan efisien dan efektif. Vaksin terbukti mampu mencegah banyak penyakit seperti, BCG, Polio, Hepatitis B, Campak, Rubela, Hib, PCV, Influenza, Dengue, HPV.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Yang perlu diketahui pula, apabila kita melakukan imunisasi pada banyak orang maka akan timbul yang disebut dengan imunitas populasi atau dikenal dengan herd immunity. Ini akan melindungi orang lain yang belum atau tidak bisa diberi vaksin seperti, bayi  atau orang dengan penyakit gangguan imun", jelas Prof. Cissy Kartasasmita dikutip dari situs resmi

Meski demikian, Cissy mengingatkan meski sudah ada vaksin perilaku 3 M masih harus dilakukan hingga akhir pandemi.

"Vaksin adalah salah satu cara kita untuk terlindungi dari infeksi penyakit tertentu. Namun kita tetap harus melakukan perilaku 3 M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak aman) secara disiplin, sampai akhir pandemi nanti", tuturnya.

Sebelumnya, Windhi Kresnawati, dokter spesialis anak dari Yayasan Orangtua Peduli menyebutkan tujuh mitos memang menjadi hambatan program vaksinasi sejak dulu, dilansir dari Covid-19.go.id.

Berikut 7 mitos seputar vaksin.

1. Penyakit infeksi bisa dihindari dengan gaya hidup sehat

Menurut Windhi pola hidup sehat belum cukup ampuh untuk mencegah infeksi penyakit tertentu. Ia mencontohkan kasus campak di Amerika Serikat (AS).

Saat ditemukan vaksin campak di AS pada 1963, penyakit ini berangsur-angsur hilang. Bahkan pada 1974, pemerintah AS menyatakan bahwa mereka bebas campak.

Padahal, pola dan gaya hidup warga AS sejak tahun 1963 hingga 1974 tidak ada perubahan. Artinya, peran terbesar atas hilangnya campak di AS adalah imunisasi atau vaksinasi. Bukan semata-mata gaya hidup yang sehat.

"Akibatnya, tahun 2018 Amerika Serikat kembali mengalami wabah campak. Ini disebabkan banyak pendatang dari negara lain yang tidak vaksin dan penolakan vaksinasi tinggi," ujar Windhi.

Kondisi ini mulai berubah saat di AS mulai muncul sekte atau kelompok masyarakat yang meragukan vaksin MMR (campak, beguk, rubella). Lalu diikuti dengan semakin banyak orang ragu terhadap peran vaksin campak.

2. Anak yang diimunisasi tetap sakit 

Windhi menjelaskan bahwa bila pun mengalami sakit, tingkat keparahan yang dialami pasien imunisasi sangat ringan. Anak-anak yang diimunisasi, bila sakit, akan terhindar dari kecacatan dan kematian.

"Dan jangan lupa, kalau Anda tidak diimunisasi dan Anda tidak sakit, berterimakasihlah kepada orang yang diimunisasi. Karena itulah herd immunity. Ketika kita berada di tengah orang-orang yang sehat, kita tidak terjangkit penyakit," ujar Windhi.

3. Vaksin mengadung zat berbahaya.

Windhi menegaskan bahwa hal ini keliru. Vaksin yang sudah diproduksi massal harus memenuhi syarat utama: aman, efektif, stabil, dan efisien dari segi biaya. Artinya panjang prosesnya. 
 
"Setelah dinyatakan aman, dipakai oleh masyarakat luas di bawah monitoring. Kalau negara kita di bawah BPOM.  Karena satu saja ada temuan efek samping yang tidak diinginkan itu bisa ditarik dan biasanya itu ketahuan di fase awal," ujar Windhi.
 

Vaksin Corona Disebut Mengandung Babi dan Sel Bayi Aborsi

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER