WhatsApp menunda kebijakan privasi yang akan berbagi data pengguna kepada perusahaan induknya, Facebook. Kini WhatsApp menahan kebijakan yang memicu penggunanya pindah ke Telegram hingga Signal tersebut hingga bulan Mei 2021 nanti.
Pakar Informasi dan Teknologi Institut Teknologi Bandung Budi Rahardjo mengatakan pengunduran tersebut menandakan bahwa WhatsApp khawatir penggunanya hengkang karena kebijakan barunya..
Ia juga menilai pengguna sedang memberi cap bahwa WhatsApp otoriter karena memberikan aturan baru untuk penggunanya secara tiba-tiba.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya sudah bertemu dengan pihak WhatsApp, harusnya ada sosialisasi agar tidak terkesan otoriter. Sekarang tiba-tiba ada kebijakan baru, akhirnya ada rasa kekhawatiran dari dia," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (20/1).
Budi menjelaskan, pengguna media sosial saat ini diberi banyak pilihan aplikasi pesan instan, seperti Signal dan Telegram. Namun dia berpendapat, pilihan ini diibaratkan perseteruan Mac dengan Windows yang tiada akhir namun pilihan pengguna lah yang dapat menjadi acuan.
Lihat juga:Signal Sindir WhatsApp di Twitter |
Pengguna Mac dan Windows akan memutuskan sendiri mana sistem yang dinilai lebih menguntungkan pengguna, walaupun banyak ahli teknologi menilai Mac lebih aman dan menguntungkan. Namun pada akhirnya Windows yang menjadi raja di pasaran.
Budi lalu menilai konversi perpindahan pengguna WhatsApp ke Signal dan Telegram tidaklah semudah membalik telapak tangan. Hal ini karena WhatsApp sudah terlanjur menempel di masyarakat atau keluarga Indonesia.
Ia memprediksi pengguna WhatsApp di Indonesia akan menjadikan Signal dan Telegram sebagai pelengkap aktivitas media sosial saja. Kendati demikian, sejauh ini, Budi menilai baru Signal yang disebut paling aman untuk melakukan obrolan yang sensitif.
Budi pun menilai keadaan bisa lebih menguntungkan bila WhatsApp mampu melakukan sosialisasi hingga Mei 2021 nanti bahwa kebijakan monetisasi dengan Facebook tidak seperti yang diberitakan. WhatsApp harus meyakinkan pengguna bahwa seluruh data aman dan terenkripsi dengan baik.
"Karena sebetulnya kebijakan ini kan bukan untuk pengguna WhatsApp peribadi, melainkan pengguna WhatsApp bisnis. Tapi kan yang dapat notifikasi ini semua pengguna. Jadi informasinya menakutkan pengguna lain. Kalau sosialisasi lebih baik, pengguna bisa paham dan tak salah tangkap," ujarnya.
Budi juga mengingatkan bahwa monetisasi tak hanya dilakukan oleh WhatsApp, namun juga Telegram. Ia pun menyimpulkan kebijakan monetisasi adalah hal yang wajar di seluruh aplikasi perpesanan.
Lihat juga:Apple Digugat Hapus Telegram Di App Store |
Hal serupa juga dinyatakan oleh pengamat media sosial, Enda Nasution. Ia menilai, perebutan pengguna imbas muntahan pengguna WhatsApp tidaklah berpengaruh banyak pada Telegram dan Signal.
Dengan total lebih dari 2 miliar pengguna, WhatsApp akan tetap digunakan namun dengan porsi masing-masing. Ia juga mengatakan, Signal dan Telegram akan sulit mengejar ketertinggalan jumlah pengguna.
"Orang tidak akan menggunakan aplikasi lain secara sekaligus. Karena ujung-ujungnya kita yang butuh. Kita butuh ini buat kerja, menghubungi keluarga dan bisnis lainnya," ujarnya kepada CNNIndonesia.com.
Ia juga mengamati performa aplikasi Signal yang masih dalam banyak perbaikan karena membludaknya pengguna. Sistem bandwidth yang harus ditambah menjadi perhatian khusus untuk membuat penggunanya nyaman.
Enda menganggap turunnya performa juga kerap terjadi pada beberapa aplikasi media sosial lainnya, seperti Twitter, Facebook dan Instagram.
![]() Aplikasi pesan WhatsApp hingga Telegram akan meminta pengguna memberikan data lokasi, kontak, nomor telepon hingga alamat email. |