ANALISIS

Hobi Meriung, Netizen RI Bisa Jadi Warga Super Power Internet

CNN Indonesia
Kamis, 25 Mar 2021 17:44 WIB
Meski jumlah pengguna internet kalah dari China atau Amerika Serikat, jari-jari netizen Indonesia disebut cukup disegani di dunia.
Foto: AFP PHOTO / JUAN MABROMATA

Lantas, apakah yang dilakukan netizen Indonesia negatif? atau sebaliknya. Menurut Firman, perlu dilihat substansi dan caranya untuk menilai positif dan negatif tindakan netizen Indonesia.

Jika yang dibela adalah kepentingan Indonesia yang diperlakukan tidak adil, tentu bernilai positif. Namun dari caranya, mencaci maki bukan satu-satunya teknik komunikasi untuk didengar.

Bagaimanapun, kata Firman realitas medsos dapat menjadi cermin realitas di dunia nyata. Menyampaikan substansi yang benar dengan cara yang tidak santun, menunjukkan adanya situasi yang tak beres dengan cara berkomunikasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Seolah untuk mencapai tujuan hanya bisa dengan cara mencaci maki ramai ramai, mengeluarkan kata-kata tak pantas dan tak mengindahkan perasaan lawan komunikasi," ujar Firman.

Bagi Firman, cari negatif itu berarti menutup kesempatan berdialog. Akhirnya, ketika caci maki itu jadi trending topic dunia, tentu akan dipersepsi seperti itulah cara bangsa Indonesia dalam berkomunikasi.

"Bagaimana bangsa lain menghadapi Indonesia untuk urusan pariwisata, kerjasama bisnis, pemberian bantuan kala bencana dan lain-lain?," tanya Firman.

Firman menambahkan brainware netizen Indonesia perlu diarahkan agar mampu memanfaatkan sarana komunikasi digital, sebagai sarana mencapai berbagai tujuan ekonomi, politik, dan sosial.

Jika berhasil, kuantitas besar Netizen Indonesia, cara berpikir yang logis, perilaku yang proporsional di media digital , akan menghadirkan super power baru, super power SDM yang kompak dan mampu berdialog.

Lebih dari itu, dia mengingatkan media digital adalah bentuk teknologi informasi dan komunikasi. Untuk berkomunikasi, netizen Indonesia tidak bisa hanya berelasi dengan dirinya sendiri. Menurutnya, perlu audiens, khalayak, mitra di luar Indonesia.

"Jaminan bahwa mereka yang ada di luar Indonesia akan dihargai dan diperlakukan layak oleh netizen Indonesia, akan bermanfaatkan di masa depan sebagai sarana berkolaborasi, mencapai berbagai tujuan," ujar Firman.

Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis mengatakan perilaku kerumunan di medsos dengan dunia nyata relatif hampir mirip.

Dalam sosiologi, dia mengatakan ada perilaku kolektif yang dinamakan konformitas, gerak kolektif yang dipicu oleh individu atau kelompok kecil orang yang kemudian terakumulasi membesar menjadi kelompok yang lebih besar.

"Dunia maya membuat amplifikasi sosial dari konformitas tersebut menjadi jauh lebih besar, bahkan hingga lintas negara," ujar Rissalwan kepada CNNIndonesia.com.

Perilaku itu, kata Rissalwan seperti pisau bermata ganda karena bisa positif dan bisa juga negatif. Padangan itu tergantung dari arahan kelompok pemicu awalnya.

"Hal ini tentunya menjadi tantangan ke depan untuk bisa diantisipasi oleh penyelenggara negara. Agar konformitas dunia maya tidak digunakan untuk hal-hal negatif," ujarnya.

(jps/dal)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER