WHO telah membentuk panel untuk mempelajari efikasi berbagai bentuk vaksin yang kini sudah mendapat izin resmi pakai berbagai negara, termasuk Sinovac.
Sebuah panel ahli yang diwawancarai Reuters Mei lalu, menyimpulkan hal sama. Salah seorang di antaranya adalah Tom Frieden, mantan kepala Pusat Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular (CDC) AS yangmengatakan bukti ilmiah mendorong booster vaksin masih nihil.
"Nol. Sama sekali tidak ada bukti ke arah itu. Sangat tidak patut mengatakan kita mungkin butuh suntikan tiap tahun karena sekarang ini kita belum tahu kondisinya akan seperti apa," kata Frieden.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengomentari pernyataan pabrikan vaksin yang mengunggah narasi perlunya booster bahkan setelah vaksinasi Covid lengkap. CEO Pfizer Albert Bourla April lalu misalnya, mengatakan ada "kemungkinan" dosis booster dibutuhkan setelah setahun suntik vaksin.
Sementara CEO Moderna Stephane Bancel menyatakan pabriknya akan memproduksi vaksin untuk Covid varian Beta yang mulanya muncul di Afrika Selatan dan memperkirakan booster vaksin akan dibutuhkan.
Para ahli mengkhawatikan pabrikan vaksin ini mengarahkan narasi tentang pentingnya booster.
Akibatnya, ditakutkan kebijakan yang diambil pemerintah berbagai negara lebih didorong oleh strategi pemasaran pabrikan vaksin ketimbang karena kebutuhan darurat kesehatan.
Tetap saja, munculnya ribuan kasus infeksi pasca-vaksinasi mendorong berbagai negara untuk menyiapkan rencana booster vaksin. Sebagian didasari atas kekhawatiran sukar membentuk kekebalan komunal (herd immunity) jika pandemi berkepanjangan akibat berbagai varian baru yang lebih ganas dan kebal vaksin.
Komite Penasihat Imunisasi Nasional Kanada menyarankan penerima dosis pertama vaksin AstraZeneca mendapat dosis kedua dari vaksin yang dikembangkan dengan metode mRNA seperti Pfizer atau Moderna. Kombinasi ini dianggap lebih ampuh untuk mencegah infeksi varian ganas Covid.
Pemerintah Inggris juga berencana memberikan suntikan vaksin tambahan pada musim gugur tahun ini.Menteri Kesehatan Matt Hancock mengatakan rincian aturannya akan dirumuskan dalam beberapa pekan ke depan.
Pemerintah Uni Emirat Arab sejak Mei juga menawarkan suntikan booster untuk warga yang sudah menerima dosis lengkap vaksin Sinopharm.
Sinopharm--sebagaimanaSinovac-- juga buatan pabrikanChina dan sudah mendapat izin pakai darurat dari WHO untuk vaksinasi Covid. Menurut Otoritas Manajemen Bencana UEA, prioritas pemberian suntikan booster adalah mereka yang berusia di atas 60 tahun sekaligus punya penyakit penyerta.
Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum membahas isu booster secara terbuka. Juru bicara pemerintah untuk vaksinasi Siti Nadia Tarmizi mengatakan pemerintah menunggu hasil kajian ilmiah untuk mendapat kepastian apakan booster memang diperlukan.
"Kita tunggu selesai uji klinis tahap tiganya, rekomendasi WHO. ITAGI (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization) juga kita tunggu masukannya."
Ahli mikrobiologi Ines Atmosukarto berpendapat fokus harus diberikan untuk memastikan semua orang mendapat vaksinasi lengkap lebih dulu, dengan vaksin apapun yang tersedia saat ini.
"Soal booster dengan vaksin mRNA spt yang dilakukan Kanada sekarang memang bagus. Kalau vaksinnya ada. Kalau belum - ya jangan sampai menjadi penghambat."
Saat ini Indonesia masih menunggu datangnya kiriman jutaan dosis vaksin baru dari Pfizer dan Novavax. Menurut Ines, jika tuntutan vaksinasi Covid sudah terpenuhi, program booster dapat dilakukan dengan dua jenis vaksin tersebut dengan nakes sebagai prioritas utamanya.
(vws)