Cerita Bos Telegram soal Spyware Pegasus Israel

CNN Indonesia
Jumat, 23 Jul 2021 11:00 WIB
Menurut Durov, banyak orang menjadi sasaran alat jahat Pegasus Israel.
Pendiri Telegram Pavel Durov [kiri] saat berkunjung ke Kemkominfo beberapa waktu lalu. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pendiri aplikasi Telegram Pavel Durov bersuara atas penggunaan spyware Pegasus milik perusahaan asal Israel, NSO group sebagai perangkat mata-mata di dunia maya. Kasus spyware seperti Pegasus Israel ini sedang ramai dibicarakan secara global.

Menurut Durov, banyak orang menjadi sasaran alat jahat Pegasus Israel. Kondisi saat ini sangat "mencekam" mengingat spyware ini bekerja memata-matai korbannya melalui ponsel iOS dan Android dan laptop.

"Telepon dari 50.000 orang, termasuk aktivis hak asasi manusia dan jurnalis, telah menjadi sasaran alat pengawasan yang digunakan oleh banyak pemerintah," tulis Durov dalam akun Telegram miliknya, dikutip Jumat (23/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Alat-alat ini dapat meretas ponsel iOS dan Android, dan tidak ada cara untuk melindungi perangkat Anda dari pengintaian ini. Tidak peduli aplikasi apa yang Anda gunakan, karena sistem menginfeksi software yang lebih dalam," ujar Durov kemudian.

Ia mengatakan menurut penyelidikan Edward Snowden, mantan kontraktor teknik Amerika Serikat dan karyawan Central Intelligence Agency, sejak 2013 Apple dan Google merupakan bagian dari program pengawasan global.

Kondisi ini yang menyiratkan perusahaan tersebut harus menerapkan 'pintu belakang' ke dalam sistem operasi seluler mereka. Sistem back-end ini biasanya menyamar sebagai bug keamanan dan memungkinkan agen AS mengakses informasi pada ponsel cerdas mana pun di dunia.

"Masalah dengan sistem back end seperti itu adalah bahwa mereka tidak pernah eksklusif hanya untuk satu pihak. Siapa pun dapat mengeksploitasi mereka. Jadi, jika agen keamanan AS dapat meretas ponsel iOS atau Android, organisasi lain mana pun yang mengungkap pintu belakang ini dapat melakukan hal yang sama," katanya.

Maka, ia menilai tidak heran sebuah perusahaan Israel bernama NSO Group menjual akses ke alat mata-mata yang memungkinkan pihak ketiga meretas puluhan ribu telepon.

Ia sedikit bercerita kejadian sejak 2018 yang telah mengetahui salah satu nomor teleponnya termasuk dalam daftar target potensial dari alat pengawasan tersebut, meski sumber dari NSO Group menyangkalnya.

"Secara pribadi, saya tidak khawatir, sejak 2011, ketika saya masih tinggal di Rusia, saya terbiasa dengan asumsi bahwa semua ponsel saya diretas. Siapa pun yang mendapatkan akses ke data pribadi saya akan sangat kecewa - mereka harus melalui ribuan desain konsep untuk fitur Telegram dan jutaan pesan yang terkait dengan proses pengembangan produk kami. Mereka tidak akan menemukan informasi penting di sana," ujar dia.

Hanya saja, ia mengatakan sebetulnya alat mata-mata ini digunakan juga kepada banyak orang menonjol di berbagai dunia. Durov memberi contoh mereka dipekerjakan untuk memata-matai 14 kepala negara.

"Itulah mengapa saya menyerukan kepada pemerintah dunia mulai bertindak melawan duopoli Apple-Google di pasar smartphone dan memaksa mereka membuka ekosistem tertutup mereka dan memungkinkan lebih banyak kompetisi," ucap Durov.

Ia juga meminta agar para sejumlah negara untuk bergerak cepat terkait masalah spyware ini.

"Saya berharap berita bahwa mereka sendiri telah menjadi sasaran alat pengawasan ini, untuk segera berubah pikiran," tutup Durov.

(ryh/mik)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER