Mark Harris, seorang profesor di School of Molecular and Cellular Biology di University of Leeds, juga mempertebal kritik tersebut dan menyebut istilah COVID-22 "tidak membantu dan tidak akurat."
"COVID adalah singkatan dari Penyakit Coronavirus. Virus yang menyebabkan ini adalah SARS-CoV-2," ungkapnya. "Delta bukan COVID-21 atau varian dari COVID-19, ini adalah varian dari SARS-CoV-2. Setiap varian di masa depan juga akan menjadi SARS-CoV-2." tambahnya.
Senada dengan itu, profesor Kebijakan dan Manajemen Kesehatan di School of Public Health City University of New York (CUNY), Bruce Y. Lee, mengatakan bahwa belum ada Covid-20 atau Covid-21 karena semua varian yang muncul selama pandemi yang sedang berlangsung berasal dari garis keturunan atau keluarga yang sama dengan SARS-CoV-2.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Alpha, Beta, Delta, Gamma, Lambda, dan varian perhatian dan minat lainnya yang terdaftar di situs web Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) semuanya dihasilkan dari mutasi progresif pada materi genetik SARS-CoV-2," kata Lee seperti dikutip dari Forbes, Selasa (24/8).
Menanggapi hal tersebut, Profesor Reddy mengklarifikasi komentarnya tentang Covid-22 dalam sebuah pernyataan, ia tidak mengharapkan pernyataanya menimbulkan kritik dan reaksi heboh di media sosial.
"Saya tidak menyadari bahwa saya menggunakan istilah 'COVID-21' atau ' COVID-22' akan menyebabkan reaksi seperti itu," katanya.
Reddy mengatakan bahwa negara-negara di seluruh dunia telah melakukan kebijakan yang melonggarkan mobilitas setelah sebelumnya menerapkan lockdown. Namun dalam beberapa kasus, ada juga yang kembali menerapkan lockdown karena lonjakan kasus masih terus meningkat.
"Sekarang ketika kita mulai berpikir tentang 2022, kita perlu mempertimbangkan kembali bagaimana menanggapi COVID-19. Pikiran saya yang disebutkan di atas memperjelas bahwa meningkatkan vaksinasi dan akses ke vaksinasi adalah prioritas yang paling penting." Kata Reddy.
(mrh/eks)