Jakarta, CNN Indonesia --
Imaji warga nusantara telah memanfaatkan gugusan bintang-bintang di langit dalam kearifan hidup budaya leluhur. Kearifan lokal ini lantas digali kembali oleh Widya Sawitar, salah satu penceramah di gedung peraga simulasi susunan bintang dan benda langit, Planetarium, Jakarta.
Pria yang menerima penghargaan Ganesa Widya Jasa Adiutama dari ITB pada 2018 itu juga aktif menelusuri keterkaitan astonomi dan budaya di Indonesia. Di antarnya keterkaitan ilmu astronomi dengan foklor atau cerita rakyat di tanah air, khususnya di pulau Jawa.
Kiprahnya dalam dunia astronomi sudah dimulai sejak 1992 usai lulus dari program studi ilmu astronomi di Institut Teknologi Bandung (ITB).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Widya bukan orang baru di Observatorium Planetarium Jakarta. Sudah sedari kecil ia wara-wiri di bilangan Cikini raya, Jakarta Pusat. Hal itu lantaran Cikini merupakan tempat tinggalnya sedari kecil.
Ia menceritakan tanah seluas 72.551 meter persegi yang kini bernama Taman Ismail Marzuki itu, semasa kecil kerap disambangi untuk sekedar bermain saat sore hari bersama teman-temannya.
"Ya ke planetariumnya juga istilahnya saya main saja. Dulu kan ini terbuka dan belum banyak gedung-gedung di sini. Adanya Planetarium paling depan ada lagi teater terbuka yang sekarang jadi teater Jakarta," kenang Widya saat ditemui CNNIndonesia.com di Taman Ismail Marzuki, Senin (27/9).
Seringnya bermain di wilayah Planetarium Jakarta, Widya menjelaskan hal itulah yang mempengaruhi dirinya untuk menempuh pendidikan tinggi dengan program studi ilmu astronomi.
"Karena sudah ada di lingkungan astronomi [jadi] memilih ambil jurusan astronomi," pungkasnya.
 Widya Sawitar Penceramah Planetarium Jakarta (dok. Himpunan Astronomi Amatir Jakarta/ HAAJ) |
Kisah Bimasakti hingga Aruna
Widya berkisah kaitan ilmu astronomi dengan hasil budaya sangat lekat. Ia mencontohkan piramida di Mesir dan Borobudur di Indonesia merupakan contoh bagaimana erat hubungan budaya dan astronomi.
Selain itu, menurutnya cerita rakyat pun disangkutpautkan dengan astronomi, seperti penamaan pada Matahari di kultur peradaban Jawa.
Berdasarkan temuannya, ada lebih dari 130 nama untuk penamaan Matahari dan lebih dari 30 nama dalam penamaan Bulan yang diambil dari penamaan tokoh wayang.
"Kalau Matahari sekitar 130 nama mungkin yang agak terkenal itu Aditya, Baskoro, Arka, Aruna. Jadi ada 130an nama hanya untuk Matahari saja. Bulan juga ada lebih dari 30 nama," ujarnya.
Kemudian, Presiden Soekarno sendiri sempat menamakan galaksi yang kita huni dengan sebutan khas Indonesia, Bimasakti, alih-alih menggunakan istilah asing.
"Milkyway disebut Bimasakti awal mulanya (merupakan) penggambaran orang-orang dulu ketika membayangkan langit. Dia melihat satu daerah pada awalnya seolah tergambar di langit ada tokoh Bima, yang itu kita kenal sebagai jalurnya Bimasakti. Dan itulah nama galaxy kita," jelas Widya.
Lebih lanjut, menurutnya lakon Bima Sakti sendiri diminta oleh gurunya untuk melakukan sesuatu sebagai pembuktian kesejatian diri. Salah satunya bertempur dengan naga, kemudian dia menang dan berhasil menemukan kesejatian.
"Makanya muncullah nama Bima Sakti. Silahkan baca kitab Mahabarata, kitab pertama. Di sana ada lakonnya."
 Pemandangan gugusan Bima Sakti atau Milky Way saat malam Hari Raya Nyepi tahun Saka 1943 terlihat dari kawasan Ungasan, Badung, Bali, Senin (15/3/2021). Gugusan Bima Sakti terlihat lebih jelas di langit Bali yang gelap gulita tanpa penerangan saat umat Hindu menjalani catur brata penyepian pada Hari Raya Nyepi. (ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/hp.) |
Ia menceritakan bahwa penamaan benda langit di masa lampau itu merupakan saduran dari nama tokoh atau legenda tertentu yang dianggap sakti, lalu dikaitkan dengan sesuatu yang maha tinggi, yaitu benda langit.
"Katakanlah di Yunani ada rasi bintang Hercules. Ternyata kita juga punya nama-nama itu," tuturnya.
Jika di Indonesia, beberapa masyarakat di tanah Jawa juga menamai planet dengan nama-nama dewa. Seperti planet Jupiter dengan nama Wrahaspati, Merkurius dengan sebutan Budha, dan Mars dengan sebutan Anggoro.
Dengan adanya sederet kesamaan dari berbagai belahan dunia, Widya menyimpulkan ada dua faktor yang memungkinkan terjadinya kesamaan itu. Di antaranya memiliki pola pikir yang sama atau memiliki akulturasi budaya dari negara lain.
"Semisalnya gini, ketika India datang pada abad ke-4, tapi di sini banyak masyarakat yang sudah punya nama-nama [astronomi], dan akhirnya berakulturasi," tuturnya.
Tak cuma Indonesia
Dalam menelusuri keterkaitan tokoh wayang dengan astronomi, ia tak hanya berburu kamus dan literasi di dalam negeri saja. Widya juga mempelajari foklor yang berkorelasi dengan astronomi di beberapa negara lain, seperti India dan China.
Dia menyebut penamaan benda langit atau fenomena astronomi di luar negeri juga sama seperti di Indonesia. Salah satu fenomena seperti terjadinya gerhana misalnya. Dalam cerita rakyat India atau China disebutkan bahwa terdapat raksasa atau naga di dalamnya.
Widya menjelaskan cerita rakyat yang dihubungkan dengan astronomi itu berawal dari mitos, budaya mitologi maupun cerita legenda. Ia mengatakan di tiap budaya di seluruh dunia memiliki cerita tersendiri. Kemudian berkembang dan menjadi penamaan fenomena astronomi yang juga terkait dengan musim.
Pada saat terjadinya fenomena antariksa pada Bulan misalnya. Di beberapa negara memiliki berbagai julukan. Ada yang menyebutnya sebagai harvest moon ada pula yang menyebutnya blue moon, tergantung pada kisah yang berkembang di tiap negara.
"Kita pun di sini juga ada dan ternyata katakanlah di Jawa sendiri, bulan tanggal berapa ada namanya bulan separo ada namanya purnama ada namanya," tuturnya.
Dengan banyaknya kesamaan yang dilakukan oleh manusia di berbagai belahan dunia pada masa lalu, Widya menyimpulkan bahwa pola pikir manusia di negara mana pun memiliki pemikiran yang sama yaitu memberi nama dalam penemuan ilmu astronomi.
"Artinya kita sama-sama manusia mindsetnya sama, itu lebih penting. Bahwa ada benang merah antara pemikiran keastronomian di Indonesia dan di manapun," pungkasnya.
[Gambas:Photo CNN]
Ajak anak muda melek astronomi
Di samping itu Widya menjelaskan cara menggaet generasi muda khususnya anak-anak agar tertatik dalam dunia astronomi. Dia menjelaskan menjadi astronom tak ubahnya seperti masuk jurusan kuliah kimia dan fisika, yang ketika lulus menyandang gelar ahli.
Namun demikian ilmu astronomi perlu dipopulerkan kepada anak sejak dini, lantaran ilmu tersebut tak masuk dalam kurikulum di bangku sekolah. Hal itu juga disebutnya sembari memberi motivasi untuk menjadi ahli dalam bidang astronomi.
"Artinya pemberian motivasi ya menjadi ahli astronomi seperti orang menganggap ahli biologi ahli fisika ahli matematik," tuturnya.
Meski begitu, ia tak menampik bahwa mengajak generasi muda tertarik di bidang ilmu astronomi merupakan sebuah tantangan. Namun hal itu dapat dilakukan lewat aplikasi atau situs yang banyak membahas tentang astronomi.
Selain itu ada juga cara yang menjabarkan bahwa ilmu astronomi sangat eratdengan penggunaan GPS. Dia menjelaskan teknologi GPS erat kaitannya dengan ilmu astronomi. Hal itu disebutnya lantaran memanfaatkan penghitungan di tata surya.
"Kalau kita engga tau koordinat langit gimana kita nerbangin wahana antariksa,"katanya.
Selain itu ia menjelaskan bahwa bisa juga mengenalkan fenomena langit yang saat ini hanya bisa diprediksi oleh para astronom. Misalnya, jika Indonesia pada 2023 akan terpapar gerhana Matahari total.
Dampak dari penghitungan prediksi itu berpengaruh dengan beberapa faktor. Misalnya pada faktor ekonomi dan wisata.
Dengan penghitungan yang dilakukan oleh para astronom, menghasilkan letak wilayah Indonesi jelas melihat fenomena itu. Sehingga secara tidak langsung memiliki nilai yang berdampak finansial dan wisata bagi masyarakat.
Lebih lanjut ia menjelaskan harapan ilmu di bidang astronomi. Widya berharap astronomi bisa menjadi sesuatu ilmu yang maju dan bisa berkiprah tidak hanya di Indonesia saja.
Meskipun kesadaran penuh masyarakat dibidang astronomi sendiri dinilai minoritas, tetapi prestasi untuk terus maju harus terus digali.
"Harapan saya seperti itu khususnya untuk para muda," ungkapnya.
"Anggap saja apa yang sekarang kita dapat itu sekedar cover dari buku. Para muda yang mengisi bukunya. Kadang-kadang covernya indah, tapi gimana isi bukunya," tutup Widya.