Jakarta, CNN Indonesia --
Kepala Observatorium Bosscha Bos Boscha, Premana W Premadi, menjadi astronom wanita pertama di Indonesia yang namanya diabadikan jadi nama asteroid di luar angkasa.
Nama Premana disematkan pada asteroid yang ditemukan oleh C. J. van Houten, Ingrid van Houten-Groeneveld, dan Tom Gehrels, pada 24 September 1964.
Premana blak-blakan alasan mengapa namanya dicomot menjadi nama asteroid, yaitu 12937 Premadi. Ia menjelaskan bahwa penganugerahan itu lantaran kontribusinya sebagai pendidik di dunia astronomi, serta ambil bagian menjadi peneliti di bidang kosmologi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemberian anugerah ini karena kontribusi saya sebagai pendidik di dunia astronomi, kemudian sebagai peneliti di bidang kosmologi. Mungkin utamanya lebih pada upaya menjadikan astronomi ini sebagai sesuatu yang bisa diminati, dinikmati oleh lebih banyak orang," ujar Premana kepada CNNIndonesia.com, Kamis (2/9).
Nama Premana kian kesohor di bidang keilmuan astronomi dunia, lantaran aktif mendalami keilmuan astronomi hingga dia diberi tahta untuk menjadi Kepala Observatorium Bosscha, Lembang, sejak 2018.
Dia mengatakan, hal yang menarik dari ilmu astronomi adalah sifatnya yang universal, yakni semua orang bisa mengamati objek langit yang jauh tanpa perbedaan perspektif.
Senang mengajari astronomi ke anak-anak
Wanita yang akrab dipanggil Nana itu juga aktif membangun organisasi Universe Awareness for Children (Unawe) pada 2007. Organisasi itu disebutnya sebagai wadah anak-anak untuk dapat mengenal astronomi sejak dini.
Ia mengatakan keaktifannya di organisasi itu lantaran ketertarikannya terhadap anak-anak. Sebab, menurutnya anak kecil pada umumnya tidak terganggu oleh bermacam bias. Pada umumnya, anak kecil tidak merasa berbeda dari yang lain, dan ditunjang dengan rasa keingintahuan yang tinggi.
"Jadi anak-anak bisa cerita tentang Bulan dan Matahari. Anak-anak di sini anak-anak di benua lain akan melihat fenomena yang sama," tuturnya.
Di organisasinya, dia mengaku tidak mengajarkan sains seutuhnya. Melainkan mengajak anak-anak untuk mengobservasi, menikmati dan menyadarkan mereka bahwa benda langit yang dilihat itu merupakan nilai berharga.
"Dari situ mereka menyadari bahwa 'iya ya seneng juga lihat bintang'," ujarnya.
Meski demikian saat ini tidak semua tempat bisa menikmati suguhan pemandangan bima sakti. Seperti di kota-kota besar contohnya Jakarta, saat ini sudah terlalu banyak polusi cahaya dan polusi udara. Sehingga tidak mudah untuk melihat pemandangan antariksa itu.
Observatorium Kupang
Selain sibuk sebagai dosen di Institut Teknologi Bandung, ia juga ambil peran penelitian dalam pembangunan pusat observatorium di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Dia menjelaskan keuntungan pendirian observatorium yang diprediksi akan rampung beberapa tahun lagi. Ia mengatakan salah satu keuntungannya adalah Indonesia bisa melihat porsi langit yang cukup besar dari kedua arah, yaitu sisi langit utara maupun selatan.
Premana mengatakan bahwa teropong-teropong besar yang berada di Amerika bagian selatan sekalipun, disebut tidak bisa melihat langit di bagian utara.
"Teropong-teropong yang besar sekali umumnya ada di Amerika Selatan, di Chile. Di sana besar-besar sekali karena dia ada di sebelah selatan dia engga bisa lihat bagian utara," tuturnya.
Jadi, kata dia, dari sisi cakupan langit di garis khatulistiwa memang menguntungkan dalam pantauan langit. Nantinya di Indonesia bisa memberikan perspektif yang beda untuk melengkapi mozaik pengamatan dari teropong lain.
Terinspirasi Guru dan Voyager
Dia menceritakan awal mula memilih program studi ilmu astronomi di ITB pada 1988 silam. Premana mengaku sangat beruntung dididik oleh guru yang baik dan paham atas bahan ajarannya, di antaranya adalah guru fisika dan kimia.
Premana menilai bahwa guru semasa Sekolah Menengah Atas (SMA) membukakan wawasan Premana bahwa fisika bukanlah ilmu yang ada di buku, melainkan ilmu yang ada di keseharian.
Sampai akhirnya ia melihat ada program studi (prodi) strata-1 ilmu astronomi di ITB, akhirnya dia memilih jurusan itu lantaran tergolong sebagai orang yang gemar mengamati sesuatu, termasuk hal yang ada di sekitar.
Premana mengatakan bahwa sains membuat orang mau bertanya tentang hal-hal yang sulit diungkap. Hal itu membutuhkan kontribusi untuk mencari jawaban, untuk memikirkan, minimal untuk mengapresiasi betapa semua hal itu indah untuk dinikmati.
[Gambas:Video CNN]
Selain terinspirasi oleh guru, prodi ilmu astronomi yang dipilihnya juga terinspirasi saat pertama kalinya ia melihat gambar dari citraan pesawat Voyager milik lembaga antariksa Amerika Serikat, NASA yang terbang mengunjungi Jupiter dan Saturnus di akhir tahun 70 hingga 80an.
"Saya juga terinspirasi misalnya baru pertama-tama mengirimkan gambar dari Voyager. Jadi kan Voyager jalan kemudian lewat planet-planet besar mulai kita punya foto-foto incredible seperti Jupiter," tuturnya.
Dia menceritakan saat itu tentu saja belum ada Hubble space telescope. Sehingga ada satu pesawat tanpa awak yang lewat ke planet-planet besar untuk mengambbil foto membuat isi kepalanya terbuka.
Premana berkisah saat masa muda itu. Setelah ia melihat tangkapan gambar dari luar angkasa, ia justru bertanya-tanya, dari mana datangnya bima sakti? bagaimana muasal jajaran planet bisa tersusun rapi beredar mengelilingi Matahari.
"Jadi buat saya itu yang lebih mendekatkan saya ke astronomi ya," tuturnya.
Premana lanjut menceritakan kesibukannya setelah ia lulus dari prodi ilmu Astronomi itu.
Dia menceritakan bahwa sedari awal lulus sudah dikhususkan untuk mempelajari bagaimana alam berevolusi, bagaimana strukturnya dan berapa usianya. Jadi, di awal karirnya ia sepenuhnya berkecimpung di sekelumit teori. Hal itu lantaran belum adanya teleskop yang dapat mengamati alam semesta.
Lantas ia melanjutkan studinya hingga S-3 di Departemen Fisika, University of Texas, pada 1996. Ia lantas melanjutkan penelitian tentang kosmologi. Dia menceritakan bahwa saat itu sudah mulai berdatangan hasil pengamatan yang cakupannya lebih besar, lantaran mulai beroperasinya Hubble Space Telescope.
Metode pengamatan
Lebih lanjut ia menceritakan bahwa pengamatan-pengamatan yang dilakukan saat ini sudah banyak ditunjang dengan sederet data, hasil dari pengamatan dan proses komputasi canggih.
Misalnya pada hasil pengamatan yang dilakukan menggunakan Naval Observatory yang berada di Washington, D.C (AS). Observatorium itu memiliki amanah membuat almanak astronomi setiap tahunnya.
Jadi, kata dia, yang menjadi panduan dalam menelaah posisi Bumi, Bulan, Matahari dan planet-planet utama lainnya diterbitkan setiap tahunnya dengan almanac itu.
Lewat hasil pengamatan itu kemudian bisa diolah menjadi data yang dibutuhkan oleh setiap negara. Indonesia bisa mengunduh datanya agar untuk keperluan yang bisa mengaitkan urusan riset dengan mesin komputasi di Indonesia.
"Jadi sudah ada bahan acuanya. Jadi standarnya terjamin, dan bagi-bagi kerjaan. Karena engga semua punya kapasitas komputasi yang besar," ujarnya.
Kemajuan Astronomi di Indonesia
Premana juga menilai eksistensi Indonesia dalam dunia Astronomi di kancah Asia Tenggara. Dia mengatakan bahwa Indonesia menjadi negara pertama yang sudah mengenal ilmu astronomi, dibanding negara lain.
Hal itu lantaran adanya observatorium Bosscha yang didirikan pada 1923. Beberapa waktu setelah dioperasikan, barulah bermunculan di Malaysia dan di Thailand.
Namun begitu, ia menilai Indonesia masih punya kekuatan dalam ilmu astronomi, tapi mesti mengupayakan titik kuat kefokusan, serta upaya untuk memprioritaskan kefokusan itu.
"Kita mesti mengenali titik unggul kita kemudian mendorong ke sana menjadikn ini pekerjaan menarik kemudian SDMnya akan mengikuti," tuturnya.
Premana mengatakan bahwa ilmu bidang astronomi berkembang dengan pesat di mana-mana. Jika dilihat di Afrika, yang sebelumnya tidak berkembang ilmu astronomi, saat ini disebutnya banyak yang sudah bermunculan.
Sumbangsih Indonesia di Astronomi dunia
Saat disinggung soal sumbangsih Indonesia di bidang astronomi dunia, ia mengatakan saat ini astronom sedang memecut diri untuk lebih kontributif.
Namun ia menilai bahwa saat ini ambang jumlah personel untuk memupuk sumbangsih Indonesia kepada ilmu astronomi dunia dinilai masih kurang. Lantaran diversifikasi masih lebar namun jumlah ahli untuk setiap topik pengamatan masih terbilang sedikit.
Meski begitu, di lain pihak Indonesia masih kaya di keanekaragaman topik riset. Mulai dari teknologi menghitung hilal yang diklaim Premana merupakan metode paling canggih yang dimiliki Indonesia.
"Tapi di lain pihak kita rich di keanekaragaman topik riset kita. Mulai dari hilal, metode pengamatan hilal yang paling canggih di mana? Di Indonesia," kata Premana.
Meskipun penghitungan masih tersegmentasi untuk beberapa negara saja, dan tak banyak diterapkan secara universal, namun metode pengamatan itu dinilai sangat penting. Maka hal itu bisa dikembangkan ke depannya.
"Jadi itu yang mestinya kita cari celah-celah itu, yang sekiranya orang tidak terlalu banyak kontribute di sana coba kita kembangkan itu," tutupnya.