Danny semasa kecil memang memiliki hobi yang unik. Saat usia 5 ia sudah berani menggenggam senapan angin, untuk digunakan sebagai alat berburu burung liar. Namun sejak tamat dari bangku SD, ayahnya pindah dinas ke kota Bandung. Hal itu sempat membuatnya stress lantaran tidak biasa berkehidupan di tengah kota.
Ia menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama di SMP 7 Bandung, dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum di SMU 5 Kota Bandung. Untuk melepaskan birahi sebagai bocah 'jarambah', ia tetap ke hutan, namun dengan medium yang berbeda yaitu berjelajah dengan motor trail.
"Sempat stres saya ketika SMP pindah ke kota. Karena biasa main di kampung di hutan ada culture shock juga ketika hidup di kota. Jadi pas SMP pelampiasannya ke alam terbuka itu main motor trail ke gunung-gunung. Pokonya jarambah," ujarnya.
Pada tahun 1980 ia menempuh studi di Institut Teknologi Bandung (ITB) mengambil program studi Geologi, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral (FIKTM).
Ia mengenang saat SMA, jurusan incaran anak-anak seusianya yang terbilang populer saat itu teknik industri dan elektro. Namun Danny berani menerobos tren itu, karena ia menilai Geologi merupakan jurusan yang sejalan dengan kegemarannya menjelajahi alam.
Danny juga menceritakan betapa mudahnya ia masuk ke Institut yang sangat digemari para anak muda masa itu. Ia menceritakan bahwa dirinya tidak memiliki metode khusus dalam belajar, namun ia kerap memiliki pemahaman yang berbeda dalam menanggapi satu permasalahan.
Terlebih sejak kecil Danny kerap mengkonsumsi bacaan teoritis hingga sains milik ayahnya. Hal itulah yang membentuk pemikiran Danny semasa kecil, hingga berbeda dengan anak seusianya.
Ia menceritakan sejak duduk di bangku SMP, ia sudah membaca berbagai buku mulai dari buku keislaman, bible, darmagandhul hingga pedoman kejawen. Buku-buku itu dimiliki oleh ayahnya yang memang gemar membaca. Ia juga mengatakan bahwa kerap membaca buku sains populer hingga berbagai buku kerohanian.
"Kebetulan bapak saya seneng baca, banyak buku-buku populer sains tentang alam juga ada. Dasarnya saya seneng baca, cuman cilakanya bapak saya juga seneng buku-buku kerohanian," tuturnya.
Sejak saat itu Danny berkata bahwa dirinya mulai memiliki ketertarikan menjadi peneliti di bidang sains. Ia mengatakan sejak kecil tidak membayangkan jika kelak besar nanti bekerja menjadi pejabat atau jajaran petinggi sebuah perusahaan.
Kehidupan setelah lulus kuliah
Danny nenyelesaikan studi S1 dari ITB tahun 1985. Karena ia menjadi mahasiswa terbaik se fakultasnya, ia ditawari kerja di salah satu perusahaan minyak asing. Danny sempat bekerja di lepas pantai selama kurang lebih satu tahun.
"Jadi waktu lulus ITB saya lulusan terbaik se Fakultas Kebumian, sehingga langsung ditarik perusahaan itu," ujarnya.
Usai bekerja di perusahaan tambang minyak, pada 1986 ia bergabung di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Namun saat itu ia tidak langsung meneliti kegempaan, melainkan meneliti kandungan minyak di wilayah Kalimantan.
Ia mulai melakukan penelitian gempa saat lulus S2 dari Auckland University, Selandia Baru tahun 1993 karena rasa keingintahuan terhadap gempa. Terlebih setahun setelah awal penelitianya terjadi gempa yang sangat dahsyat di Liwa, selatan Lampung dengan Magnitudo 7.
Ia juga mengatakan bahwa sejak penelitian S1 di ITB ia memilih bidang penelitian yang dekat dengan fenomena gempa bumi. Ia menilai ilmu yang mendalami kandungan minyak dan gempa bumi tidak jauh berbeda, yakni sama-sama mengamati keberadaan gempa.
Namun yang membedakan, kata Danny, pengamatan minyak bumi mengamati gempa yang sudah tua, sedangkan fenomena gempa bumi mengamati proses alam yang masih aktif.
"Ilmunya sama yakni mengamati gempa yang sudah mati yang sudah tua, tapi kalau yang ke gempa itu ngurusin proses alam yang masih aktif gitu yah. Tapi memang metodenya jadi lain banget," pungkasnya.
Setelah ia melakukan penelitian pada 1993 di pulau Sumatera, terjadi gempa di Liwa, Lampung. Ketika ia melakukan penelitian di wilayah tersebut, Danny sempat berbincang dengan penduduk dan pemilik hotel yang ia menginap.
Danny mengatakan kepada pemilik hotel bahwa posisi dan kontruksi hotel yang ia inapi berpotensi ambrol jika terjadi gempa. Prediksi itu bukan tanpa alasan, ia melihat posisi bangunan hotel itu berada persis di jalur patahan yang sangat berdampak jika terjadi gempa.
"Kebetulan tahun 1994 gempa, termasuk hotel yang saya sebut bakal ambruk ya bener ambruk," ujarnya.
Tidak berhenti sampai di situ, penelitian Danny terhadap fenomena gempa terus berlanjut. Pada 1995 ia meneliti gempa di daerah Sumatera Barat, dan bertemu seriang profesor dari California Institute of Technology (Caltech) yang juga tengah melakukan penelitian gempa di wilayah tersebut.
Sejak pertemuan itu, peneliti itu mengajak Danny untuk menempuh gelar Ph.D di Caltech. Lalu ia menempuh studi di Amerika Serikat (AS) dari 1995 hingga 2003 dan melakukan desertasi gempa dan tsunami di wilayah Sumatera.
Setelah mendapat gelar Ph.D di Caltech, pada Juli 2004 ia kembali ke Indonesia. Pada bulan Agustus ia bersama tim melakukan sosialisasi kepada masyarakat di beberapa wilayah Sumatera lantaran dalam penelitiannya menemukan bahwa beberapa daerah di Sumatera merupakan wilayah rawan gempa dan tsunami.
Dalam desertasinya ia menemukan ada dua jalur gempa. Pertama terdapat patahan besar di deretan pegunungan dibukit barisan. Kedua yang menjadi riset utama yakni megathrust di Mentawai, Sumatera Barat yang bisa membangkitkan tsunami.
Pada bulan awal Desember 2004, ia juga sempat pergi ke San Fransisco untuk menghadiri konferensi internasional tentang ilmu kebumian, yang dihadiri lebih dari 20 ribu peserta.
Dalam konferensi itu Danny juga membahas adanya potensi gempa di Sumatera. Namun setelah kembali ke Indonesia pada 23 Desember 2004, tiga hari berselang terjadilah tsunami Aceh yang meluluhlantahkan hampir sebagian wilayah Aceh.
Ketika menemukan potensi gempa besar yang dapat membangkitkan tsunami itu, sayangnya pemerintah Indonesia tidak peduli dengan hasil penelitiannya. Padahal beberapa bulan sebelum terjadi bencana tersebut, ia juga sempat membeberkan penelitiannya di seminar ikatan geologi Indonesia.
"Sebulan sebelum itu pun ada seminar ikatan geologi indionesia. Saya pun persentasinya mengenai tsunami Sumatera juga meskipun ga sepesifik pokonya kita bilang di lepas pantai sumatera berpotensi tsunami," ujarnya.
"Malah saya diketawain aja sama orang-orang. Sebelum gempa aceh itu penelitian gempa gak populer, malah orang gatau gempa tsunami itu apa. Termasuk teman-teman geologi," sambungnya.
Ia juga menceritakan setelah tsunami Aceh terjadi, banyak orang yang berpusat pada Aceh tanpa memikirkam bahwa selanjutnya ada potensi gempa hebat yang terjadi dibselatan Aceh, yakni di Nias.
Akhirnya setelah Aceh digocang gempa, terjadilah di nias pada Maret 2005, dengan kekuatan lebih dari Magnitudo 8.
Danny juga menceritakan bahwa sebulan sebelum terjadi gempa di Nias, ia bersama tim juga sempat bertolak ke sana untuk bertemu penduduk untuk melakukan sosialisasi bahwa ada potensi gempa di lokasi tersebut.
Dalam orasi ilmiahnya, Danny mengatakan bahwa dia menyoroti teknologi peringatan dini tsunami yang saat ini terbilang mahal dalam pembangunanya. Meski ia tidak secara langsung menyebut, teknologi deteksi gempa laut menggunakan Buoy dan CBT disebutnya terlalu mahal untuk diterapkan.
Danny mengatakan bahwa Buoy memiliki fungsinya yang sama dengan alat pengukur muka air laut, yang kerap digunakan di pelabuhan. Hanya saja buoy dipasangnya ditengah laut.
"Jadi kalau ada gempa megatrust air laut itu terkam," ujarnya.
Untuk membuat sistem peringatan dini gempa dan tsunami, kata Danny, tidak hanya Buoy saja yang diperlukan. Tetapi juga perlu software untuk memodelkan tsunami itu.
Ia mengatakan negara seperti AS dan Australia pasang Buoy bukan untuk sumber gempa yang deket, tapi untuk yang jauh. Hal itu lantaran waktu yang dibutuhkan untuk perubahan sinyal yang ditangkap buoy bisa diproses dan jadi warning tsunami butuh waktu cukup lama, yakni puluhan menit.
Kalau di indonesia proses gempa jadi tsunami itu bisa cepet, seperti di Palu, tsunami hanya terjadi selang 5 menit setelah terjadi gempa.
"Jadi buoy itu ditaro di banyak tempat tidak berfaedah," pungkasnya.
Ia mengatakan saat ini ada alat untuk merekam muka air laut namanya Inexpensive Device for Sea Level Measurement atau IDSL. Alat itu kata Danny sudah banyak digunakan di Eropa untuk mencatat pasang surut air laut, dan alat tersebut terbilang murah harganya, bahlan bisa dibuat sendiri.
Ia mengatakan dana yang dikeluarkan untuk membangun 1 unit Buoy dapat menghabiskan dana hingga Rp20 miliar. Jadi kalau dibandingkan beli Buoy 1 lebih baik membeli 1000 IDSL.
"Padahal fungsinya sama saja merekam muka air laut, tergantung dari kepintaran software dan para ahli yang memdoelkan tsunami," ujarnya.
Danny menuturkan bahwa ia juga sempat dilibatkan dalam program tsunami warning sistem pada 2006 sampai 2008. Program tsunami early warning sistem saat itu berada di bawah Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek).
Ia mengatakan sejak awal berjalan program, banyak menjumpai kendala terutama birokratis. Danny menilai para pejabat berkuasa menentukan jalannya usaha peringatan dini tersebut, sehingga banyak para peneliti yang terpinggirkan.
"Para pejabat itu yang lebih banyak berkuasanya dalam menentukan jalannya usaha peringatan dini itu. Jadi dari awal itu para ahli banyak dipinggirkan," tuturnya.
Lebih lanjut ia menyarankan bahwa jika ingin membuat sistem nasional yang bagus untuk mitigasi bencana, harus membuat wadah yang dapat mewadahi seluruh ahli di bidang gempa dan tsunami.
Saat ini, Danny menilai bahwa di Indonesia memiliki potensinya tinggi. Ia mengatakan bahwa gempa besar bisa terjadi kapan aja dan di mana aja. Ada beberapa wilayah yang potensinya lebih tinggi di banding yang lain. Tapi tetep pastinya kapan gempa msih belum mungkin untuk saat ini.
Ia mengatakan ada banyak wilayah yang berpotensi gempa. Tetapi yang sudah jelas yang betul-betul well study yakni megatrust yang ada di Mentawai. Sampai sekarang kita hanya bisa menunggu kapan gempa itu bakal terjadi.
"Itu [di Mentawai] bisa gempa M 8,8 dan tsunami bisa mencapai 10 meter," tuturnya.
Menurutnya secara ilmiah gempa memiliki siklus berapa tahun sekali. Perioda pelepasan megatrust Mentawai sudah terjadi sejak 2007 di Bengkulu dan 2010 di Pagai, yang merupakan rangkaian siklus gempa.
"Tinggal yang belum dilepas yang M 8.8 itu. Tapi masih belum terbaca kapan itu terjadi," tutupnya.