Para ahli saat ini menyebut usia Matahari sekitar 4,6 miliar tahun. Matahari diprediksi akan mati dalam waktu sekitar 10 miliar tahun lagi.
Namun, 5 miliar tahun sebelum mati Matahari tidak akan tampak seperti tampilan hari ini. Ia akan berubah berubah menjadi bintang raksasa berwarna kemerahan. Inti Matahari akan menyusut, namun lapisan luar akan meluas sampai ke orbit Mars dan menelan Bumi.
Para ahli menyebut Matahari akan mati ketika bintang itu kehabisan hidrogen. Ketika hidrogen habis, Tim memprediksi Matahari akan menjadi nebula atau letupan gas dan debu cahaya yang mengisi ruang angkasa. Nebula sendiri adalah sisa-sisa bintang yang telah mati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tanpa kandungan hidrogen, inti Matahari disebut mulai berkontraksi, sementara gaya gravitasi mulai mengambil alih inti Matahari. Sehingga bintang itu hanya akan menjadi kumparan raksasa merah dan mati. Perlahan Matahari akan mati perlahan menjadi katai putih.
Matahari butuh tumbuh dua kali dari sekarang. Apabila pertumbuhan itu terjadi, Matahari artinya berhasil bertahan dari transformasi kematian Matahari, dan bintang terbesar itu akan terselamatkan 5 miliar tahun ke depan.
Hal ini berdasarkan penelitian yang diterbitkan jurnal Monthly Notices of the Royal Astronomical Society. Lewat penelitian ini
para tim astronom menghitung bagaimana intensitas Matahari berevolusi selama 5 miliar tahun ke depan ketika kehabisan energi hidrogen. Tim menyebut kini Matahari dalam siklus stabil.
Beberapa penelitian terdahulu juga menemukan agar bintang yang akan mati bisa menjadi agar nebula, maka bintang akan membengkak berukuran dua kali lebih besar dari sebelumnya.
Studi tahun 2018 menggunakan pemodelan komputer menyebut 90 persen bintang setelah membengkak jadi raksasa merah lantas menyusut jadi katai putih dan berakhir sebagai nebula planet.
"Ketika sebuah bintang mati, ia mengeluarkan massa gas dan debu - sebagai selubung - ke luar angkasa. Selubung itu bisa mencapai setengah massa bintang. Hal ini terjadi karena inti bintang kehabisan bahan bakar, kehilangan cahaya dan mati," jelas astrofisikawan Albert Zijlstra dari University of Manchester di Inggris, salah satu penulis jurnal tersebut seperti dikutip Science Alert.