Damar menjelaskan aksi pendisiplinan oleh virtual police dilakukan pada ruang privat seperti DM atau pesan singkat. Sehingga jika warga tidak terima dan merasa ada unsur pemaksaan, sebaiknya diangkat saja ke ruang publik.
"Aksi pendisplinan dari Virtual Police ini terjadi di ruang privat, dikirim lewat DM atau pesan singkat," ujar Damar.
"Kalau warga tidak terima dan merasa ada unsur pemaksaan, sebaiknya di-blow up saja ke ruang publik. Sama seperti yang dilakukan oleh akun @salimvanjav ini, caranya cukup efektif untuk mendapat perhatian publik atas masalah ini," tambahnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain kasus DM Instagram, beberapa waktu lalu tubuh kepolisian juga tersandung insiden ketika Aipda Ambarita melakukan penggeledahan ponsel secara acara pada warga.
Kejadian tersebut viral dan videonya tersebar luas di media sosial dan membuat keriuhan. Pada video tersebut nampak Aipda Ambarita melakukan penggeledahan yang cukup memaksa.
Sikap yang ditunjukkan Aipda Ambarita pada kasus tersebut serupa dengan kasus DM Instagram yang menunjukkan kesan pemaksaan.
Menanggapi kedua isu tersebut, Damar mengatakan pihak kepolisian memang memiliki kekuatan koersif karena menjadi pihak yang berwenang dalam melakukan penegakan hukum.
Namun menurutnya, polisi harus berhati-hati karena tidak semua orang merupakan kriminal dan perlu diperlakukan dengan baik. Karena jika tidak, hal tersebut dapat menimbulkan chilling effect atau efek jeri kepada masyarakat.
"Tidak membentak, tidak memaksa, karena cara-cara seperti itu jelas tidak tepat dan dapat menyebabkan masyarakat mengalami efek jeri (chilling effect) dalam mengeluarkan pendapat," ujar Damar.
Dilansir dari mtsu, chilling effect merupakan sebuah konsep untuk menghalangi kebebasan berbicara dan berserikat.
(lnn/eks)