Jakarta, CNN Indonesia --
Chris Hadfield, seorang astronaut Kanada dan mantan Komandan ISS (Stasiun Ruang Angkasa Internasional) menyebut kematian menjadi salah satu skenario terburuk yang terjadi dalam perjalanan luar angkasa.
Hadfield menambahkan banyak hal yang bisa menyebabkan seorang Astronaut meninggal dalam perjalanannya, misalnya terkena meteorit mikro dan banyak hal lainnya.
Dilansir Popular Science, hipotesis menyebut Astronaut hanya memiliki waktu sekitar 15 detik sebelum mereka hilang kesadaran dan akhirnya membeku, mati karena sesak napas, atau dekompresi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Paparan ruang hampa udara akan memaksa air di kulit dan darah menguap, sementara tubuh akan mengembang ke luar dengan paru-paru yang runtuh, dan setelah 30 detik mereka akan lumpuh.
Hadfield menambahkan bahwa semua mitra internasional yang berlatih untuk misi ke ISS (termasuk JAXA dan ESA) sebenarnya telah mempersiapkan kematian seorang anggota kru.
"Kami memiliki hal-hal yang disebut simulasi kematian di mana kami mendiskusikan apa yang harus dilakukan dengan tubuh dalam kondisi tidak bernyawa," kata Hadfield.
Ia juga membahas 'simulasi kematian' dalam bukunya An Astronauts Guide to Life. Ia mencontohkan adegan seseorang yang meninggal dalam sebuah misi perjalanan.
"Kami baru saja menerima kabar dari Stasiun: Chris sudah mati.' Segera, orang-orang mulai mengerjakan masalahnya. Oke, apa yang akan kita lakukan dengan mayatnya? Tidak ada kantong mayat di Stasiun, jadi haruskah kita memasukkannya ke dalam pakaian antariksa dan memasukkannya ke dalam loker?"
"Tapi bagaimana dengan baunya? Haruskah kita mengirimnya kembali ke Bumi dengan kapal pemasok dan membiarkannya terbakar dengan sisa sampah saat masuk kembali? Membuangnya selama perjalanan ruang angkasa dan membiarkannya melayang ke luar angkasa?"
Seperti yang ditunjukkan Hadfield dalam simulasi tersebut, mayat di luar angkasa menghadirkan beberapa masalah logistik utama. Fakta bahwa mayat adalah biohazard jelas merupakan perhatian terbesar, dan berusaha menemukan ruang untuk menyimpannya.
Karena NASA tidak memiliki protokol untuk kematian mendadak di ISS, komandan stasiun disebut Hadfield mungkin akan memutuskan bagaimana cara untuk menangani mayat tersebut.
"Jika seseorang meninggal saat berada di EVA, saya akan membawa mereka ke dalam airlock terlebih dahulu." ucap Hadfield.
Saya mungkin akan menyimpan mereka di dalam setelan bertekanan mereka karena tubuh akan membusuk lebih cepat dalam pakaian antariksa, dan kami tidak ingin mencium bau daging busuk atau gas beracun, itu tidak bersih. Jadi kami akan menaruhnya dalam setelan mereka dan menyimpannya di tempat yang dingin di stasiun," menambahkan.
Eksplorasi dan Risiko Merenggut Nyawa
Seperti kebanyakan penjelajah, astronot pesawat ulang-alik Mike Massimino dengan cepat mengatakan bahwa kematian dan misi luar angkasa memiliki risiko yang sepadan. Menurutnya, eksplorasi selalu merenggut nyawa dan ia yakin itu selalu terjadi.
Buat Massimino, pilihan realistis untuk anggota awak yang telah meninggal dalah menyimpannya di ruangan sampah yang dingin. Kemudian dikeringkan dengan cara dibekukan dan diguncangkan menjadi jutaan serpihan beku.
Namun, manusia lain disebut mungkin akan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan pahit perlakuan anumerta di luar angkasa.
"Jika Anda mendaki Everest, Anda tahu bahwa jika Anda mati, Anda akan ditinggalkan di sana. Tidak ada metode kremasi yang mewah di Everest, tidak ada tempat yang suram untuk menyimpan mayat, tidak ada cara yang wajar untuk mengambil mayat untuk dimakamkan di rumah."
"Lebih dari 200 mayat tergeletak di gunung, beberapa di antaranya masih terlihat pada hari-hari ketika lapisan salju tipis. Setiap orang yang mendaki melewati mereka diingatkan bahwa mereka mempertaruhkan nyawa mereka-dan kesempatan mereka untuk mendapatkan pemakaman yang layak-untuk kesempatan mencapai puncak," ucap Paul Wolpe Alhi Bioetika.
Pemakaman Khusus di halaman berikutnya..
Pemakaman Beku-Kering
NASA mungkin tidak memiliki rencana darurat khusus untuk kematian mendadak di luar angkasa. Akan tetapi, pada tahun 2005 NASA membuat studi dari perusahaan eko-pemakaman Swedia, Promessa yang menghasilkan desain The Body Back yang belum diuji.
Sistem yang terdengar menyeramkan menggunakan teknik yang disebut promession, yang pada dasarnya membekukan tubuh. Alih-alih menghasilkan abu kremasi tradisional, desain itu justru akan mengubah mayat beku menjadi sejuta keping daging es.
Selama studi, pencipta Promessa Susanne Wiigh-Masak dan Peter Masak berkolaborasi dengan mahasiswa desain untuk memikirkan seperti apa proses ini saat dalam perjalanan ke Mars.
Di Bumi, proses promession akan menggunakan nitrogen cair untuk membekukan tubuh, tetapi di ruang angkasa lengan robot akan menangguhkan tubuh di luar pesawat ruang angkasa tertutup dalam tas.
Tubuh akan tetap berada di luar dalam kehampaan yang membekukan selama satu jam sampai menjadi rapuh, kemudian lengannya akan bergetar, meretakkan tubuh menjadi sisa-sisa seperti abu.
Proses ini secara teoritis dapat mengubah astronot seberat 200 pon menjadi seukuran koper seberat 50 pon, yang dapat Anda simpan di pesawat ruang angkasa selama bertahun-tahun.
Tapi, jika proses kremasi beku ke kering bukan jadi pilihan, membuang tubuh astronout atau manusia yang meninggal di luar angkasa ke ruang hampa bisa dilaklukan.
Di sisi lain, PBB memiliki peraturan tentang membuang sampah sembarangan di luar angkasa yang mungkin tidak berlaku untuk mayat manusia.
Catherine Conley dari Kantor Perlindungan Planet NASA mengatakan saat ini memang tidak ada pedoman khusus dalam kebijakan perlindungan planet, baik di NASA maupun di tingkat internasional, yang akan membahas penguburan astronout yang telah meninggal dengan dilepaskan ke luar angkasa.
Ritual Pemakaman di Mars
Jika kematian terjadi dalam perjalanan ruang angkasa ke Mars, penyimpanan dingin atau putaran promes bisa menjadi solusi yang bagus. Tapi tidak ada kamar mayat di permukaan Mars, dan pesawat ruang angkasa biasanya kekurangan ruang ekstra.
"Saya berharap jika seorang anggota kru meninggal saat berada di Mars, kami akan mengubur mereka di sana dibanding harus membawa mayatnya sepanjang perjalanan pulang," kata Hadfield.
Itu masuk akal karena perjalanan pulang yang panjang bisa menimbulkan beberapa masalah kontaminasi potensial. Bahkan para penjelajah yang menjelajahi Mars diwajibkan oleh hukum untuk tidak membawa mikroba Bumi ke planet baru mereka yang berdebu.
Pesawat ruang angkasa berulang kali dibersihkan dan disanitasi sebelum diluncurkan untuk membantu melindungi tempat-tempat yang berpotensi layak huni agar tidak diambil alih oleh mikroba Bumi.
Tapi serangga di Mars disebut tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bakteri yang akan menumpang pada mayat.
Hal ini membuat masalah perlindungan planet semakin bernuansa, tetapi kuburan Mars mungkin tidak terlalu mengada-ada. Namun tidak semua orang yang meninggal di luar angkasa akan diperlakukan seperti kargo yang merepotkan, bahkan mayat itu bisa menyelamatkan nyawa orang lain.
Penyelamatan yang dilakukan bukan melalui tindakan kepahlawanan, tetapi melalui tindakan kanibalisme. Dalam buku The Martian, penulis Andy Weir menulis dalam sebuah adegan (spoiler) di mana kru Ares memutuskan untuk kembali ke Mars untuk menyelamatkan Mark Watney yang terdampar.
Johansen, operator sistem Ares dan anggota kru terkecil (membutuhkan kalori paling sedikit) dalam misi memberi tahu ayahnya bahwa kru memiliki rencana terakhir untuk mencapai Mars jika NASA tidak mengirimi mereka persediaan untuk perjalanan.
Johansen mengatakan semua orang dalam perjalanannya akan mati karena mereka meminum pil dan tidak mengandalkan persediaan makanan yang dibekal dari Bumi.
"Semua orang akan mati kecuali saya, mereka semua akan minum pil dan mati. Mereka akan segera melakukannya sehingga mereka tidak perlu menghabiskan makanan apa pun. Persediaan tidak akan menjadi satu-satunya sumber makanan," katanya.
Meski ekstrem, rencana kru untuk bunuh diri agar satu anggota bisa menyelamatkan Watney tidak sepenuhnya terdengar. "Itu adalah tradisi yang telah berlangsung lama," kata ahli bioetika Paul Wolpe.
"Orang-orang telah melakukan bunuh diri untuk menyelamatkan orang lain, dan faktanya secara agama itu benar-benar dapat diterima.
Kita tidak bisa menggambar sedotan untuk melihat siapa yang akan kita bunuh untuk dimakan, tetapi ada kalanya kita menganggap orang sebagai pahlawan yang melompat ke granat untuk menyelamatkan teman-teman mereka." ucap Wolpe.
Wolpe mengatakan aliran pemikiran tentang kanibalisme untuk bertahan hidup terpecah.
"Ada dua macam pendekatan untuk itu. Seseorang mengatakan meskipun kita berutang banyak pada tubuh, hidup adalah yang utama, dan jika satu-satunya cara seseorang dapat bertahan hidup adalah dengan memakan tubuh, itu dapat diterima tetapi tidak diinginkan."