Jakarta, CNN Indonesia --
Tim peneliti dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3SE) mengungkap Facebook cenderung mengabaikan konten hoaks di platform media sosial tersebut.
Pendiri Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi mengatakan sebetulnya Facebook bisa melakukan identifikasi konten yang tersebar di platformnya, namun hal itu diabaikan demi menghasilkan keuntungan.
"Mereka (Facebook) bisa identifikasi konten dari pola grafik, harusnya dia bisa melakukan penurunan frekuensi. Tapi mereka enggak melakukan itu karena keuntungan," ujar Ismail, Senin(1/11) di konferensi virtual.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut Ismail menjelaskan kepada CNNIndonesia.com maksud dari dugaan praktik penyebaran konten kontroversial di Facebook yang dapat menghasilkan keuntungan tersebut.
Ia mengatakan konten yang kontroversial sebetulnya bisa dideteksi oleh algoritma Facebook, dari grafik yang naik secara tiba-tiba lantaran banyak disukai, dikomentari, dan dibagikan oleh pengguna.
"Sebenarnya dari statistik sudah kelihatan, dari tren itu sudah kelihatan. Artinya konten itu bisa terdeteksi ada sesuatu,kenapa ini berbeda dari konten yang lain," ujar Ismail kepada CNNIndonesia.com lewat sambungan telepon, Selasa (2/11) siang.
CNNIndonesia.com sudah coba mengkonfirmasi anggapan tersebut kepada perwakilan Facebook Indonesia, pada Selasa (2/11) siang. Namun belum mendapatkan respons.
Ismail mengatakan seharusnya pihak Facebook bisa melakukan peredaman penyebaran konten di linimasa para penggunanya, agar tersimpan di deretan konten yang tidak populer. Sehingga, konten tersebut tak banyak beredar di para penggunanya.
Namun demikian Ismail mengatakan konten itu berpeluang menghasilkan slot iklan, lantaran konten menghasilkan komunikasi dua arah atau disebut Engagement.
"Sekarang lihat aja setiap kali scroll 1, 2 postingan lalu yang ke 3 iklan. Scroll lagi kemudian iklan lagi. Saya perhatikan sekarang makin banyak iklan," pungkasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan semakin banyak pengguna yang scroll konten di branda, makin banyak iklan yang ditampilkan. Sehingga semakin banyak Facebook meraup untung dari pemasangan iklan.
Simak lanjutannya di halaman berikutnya..
Meski disebut menghasilkan engagement yang baik, Ismail menduga Facebook tak peduli terkait isi konten, hanya peduli pada lama durasi pengguna menggunakan Facebook.
"Facebook itu ga peduli kontennya. Dia peduli adalah orang lama di Facebook," tuturnya.
Di samping itu Ismail menyarankan kepada pengguna Facebook agar tak memberi reaksi di konten-konten yang terbilang kontroversi, seperti memberi like, share atau comment, agar konten itu tak banyak menghasilkan engagement.
Menanggapi hal ini, pihak Meta alias Facebook Indonesia mengelak tuduhan tersebut. Menurut Meta, mereka berusaha memberikan pengalaman positif bagi pengguna dengan menjaga ruang pembicaraan di platform itu.
"Pertumbuhan jumlah pengguna atau pengiklan di Facebook tidak akan berarti apa-apa jika layanan kami tidak digunakan dengan cara-cara yang mampu membawa orang menjadi lebih dekat," tulis pernyataan juru bicara Meta kepada CNNIndonesia.com, Rabu (3/11).
"Inilah mengapa kami mengambil langkah-langkah untuk menjaga orang-orang tetap aman, bahkan jika hal itu membawa pengaruh bagi keuntungan kami. Hingga saat ini, kami telah melakukan berbagai investasi, termasuk lebih dari 5 miliar USD yang kami alokasikan hanya di tahun ini untuk keselamatan dan keamanan, serta 40.000 orang yang bekerja pada dua bidang tersebut di Facebook."
Dokumen bongkar busuk Facebook
Sebelumnya sebuah Dokumen internal Facebook yang disebut sebagai 'Facebook Papers' telah dibocorkan oleh whistleblower masalah internal Facebook Frances Haugen.
Dokumen tersebut memberikan pandangan mendalam mengenai budaya internal Facebook, pendekatan yang dilakukan terhadap misinformasi dan moderasi ujaran kebencian, penelitian riset dari algoritma linimasa berita, hingga komunikasi internal.
Dokumen internal yang diberikan kepada kongres berupa dokumen yang sudah disunting dan ditinjau ulang oleh konsorsium 17 organisasi pers di Amerika Serikat termasuk CNN.
Lewat kuasa hukum, Haugen yang merupakan mantan karyawan Facebook menyerahkan lebih dari sepuluh ribu halaman dokumen internal Facebook sebagai barang bukti.
Namun sebelum dokumen internal Facebook itu terkuak, sebuah film dokumenter yang berjudul The Social Dilemma juga mengungkap bagaimana praktik Facebook dalam menjalankan roda bisnisnya.
Lewat film itu digambarkan bahwa aktivitas algoritma media sosial dapat diukur dan diketahui kondisi yang dirasakan oleh penggunanya.
The Social Dilemma juga mengungkap dampak negatif dari media sosial seperti, interaksi antar individu, Kesehatan mental, penyebaran berita, informasi hoaks, hingga hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan.
Dalam film itu juga mewawancarai berbagai tokoh belakng layar yang mensukseskan beberapa platform seperti Google, Firefox, Facebook, Twitter dan Instagram.