Metaverse menjadi salah satu kata kunci dalam perkembangan industri teknologi saat ini, di mana perusahaan dan investor sangat tertarik untuk terjun ke dalam sebuah konsep dunia virtual.
Metaverse adalah dunia komunitas virtual yang saling terhubung. Di dalamnya semua orang bisa bertemu, bekerja, bermain game menggunakan headset realitas virtual, kacamata augmented reality, aplikasi smartphone, atau perangkat lain.
Teknologi ini juga akan menggabungkan aspek lain dari kehidupan online seperti belanja dan media sosial. Beberapa yang berbasis di sekitar blockchain juga memungkinkan pengguna untuk berspekulasi tentang real estat virtual.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun para pengadopsi awal Metaverse mulai mengkritik rebranding Facebook sebagai upaya untuk memanfaatkan tren yang berkembang atas konsep yang dianggap tidak jelas dan disebut belum dibuat itu. Sebab sampai saat ini Meta belum juga merilis fitur berupa Metaverse secara resmi.
"Saya pikir Facebook telah membuat perubahan nama awal ini untuk mengamankan merek dagang baru secara legal sesegera mungkin karena lebih banyak merek tertarik," kata seorang investor crypto yang berbasis di Inggris yang dikenal sebagai Pranksy dilansir Reuters.
Banyak platform metaverse yang ada didasarkan pada teknologi blockchain yang membuat kontrol pusat menjadi tidak mungkin. Blockchain adalah arsitektur buku besar terdistribusi yang mendasari cryptocurrency.
Di dunia virtual tersebut, orang menggunakan cryptocurrency untuk membeli tanah dan objek digital lainnya dalam bentuk token non-fungible (NFT).
Perubahan nama dari Facebook ke Meta salah satunya dinilai cara untuk mengubah citra buruk Facebook usai kebocoran data internal yang dikenal sebagai Facebook Papers.
Namun, dalam proses evolusi ke Metaverse, Facebook mungkin saja mengulangi kesalahan yang sama. Metaverse disebut akan menciptakan lingkungan yang sama sekali baru untuk akar masalah warisan Facebook.
Sikap keras Facebook telah berkontribusi pada daftar skandal yang tampaknya tak ada habisnya seputar privasi data, ujaran kebencian, dan kesalahan dalam informasi yang disampaikandan konten berbahaya lainnya.
Facebook membantah tuduhan tersebut dan mencatat bahwa ada lebih dari 40 ribu orang yang bekerja di bidang keselamatan dan keamanan. Sekitar 3,58 miliar orang menggunakan Facebook dan layanannya setiap bulan.
Facebook juga harus menghadapi masalah yang sama dengan yang dihadapinya di media sosial, termasuk privasi data, keamanan, bahaya eksploitasi anak, dan moderasi konten.
Informasi yang salah telah menjadi masalah yang tersebar luas di jejaring sosial senama Facebook. Kebohongan yang menyebar di platform telah disalahkan atas pemberontakan 6 Januari dan keraguan untuk mendapatkan vaksinasi Covid-19.
Meski telah berganti nama, tetapi masalah lama di Facebook tetap membayangi Meta.
Terganggu oleh skandal, Facebook mengubah citra dirinya sebagai Meta. Raksasa teknologi itu masih harus mendapatkan kembali kepercayaan publik. CEO Mark Zuckerberg menyebut metaverse sebagai penerus internet seluler.
Dilansir CNet, seorang analis mengatakan rebranding yang cerdas tidak akan membantu Facebook menjauhkan diri dari banyak masalah.
"Perubahan nama tidak tiba-tiba menghapus masalah sistemik yang mengganggu perusahaan. Jika Meta tidak mengatasi masalah di luar sikap defensif dan dangkal, masalah yang sama akan ada di metaverse," kata wakil presiden dan direktur riset Forrester, Mike Proulx dalam sebuah pernyataan.
Lihat Juga : |
Forrester, yang mensurvei 745 orang di seluruh AS, Kanada, dan Inggris, mengatakan 75% dari mereka yang disurvei tidak setuju bahwa nama perusahaan baru akan meningkatkan kepercayaan mereka di Facebook.
Selama berbicara di Konferensi Tahunan Connect, Zuckerberg mengatakan dia sangat menyadari risiko yang datang dengan memasuki bidang baru. Facebook tidak memiliki rekam jejak yang bagus dalam hal melindungi privasi dan keamanan penggunanya, dan masalah itu tidak akan hilang di metaverse.
(ttf/fjr)