Jakarta, CNN Indonesia --
Gunung berapi di Indonesia tersebar hampir ke seluruh penjuru tanah air. Julukan "Ring of Fire" disematkan ke Indonesia karena terdapat lebih dari 120 gunung api aktif.
Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM, saat ini terdapat 3 gunung api aktif yang berstatus Level III atau siaga, sebanyak 17 gunung api dengan status Level II atau Waspada, dan 48 gunung api dengan Level I atau Normal.
Pada Sabtu (4/12), Gunung Semeru mengamuk dan meluluhlantakkan sejumlah rumah warga yang bermukim radius 11 kilometer dari puncak Semeru. Bencana datang secara mendadak, masyarakat mengaku tak menerima peringatan saat terjadinya erupsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan banyaknya gunung api aktif muncul pertanyaan, mampukah Indonesia membangun sistem yang memberikan perlindungan bagi masyarakat dari mahadahsyatnya muntahan perut Bumi suhu 290 derajat celcius?
Ahli Geofisika dari Universitas Gajah Mada, Wiwit Suryanto menilai Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sudah memiliki kelengkapan teknologi pantauan aktifvitas gunung berapi yang baik, namun kelengkapan instrumentasi belum bisa merata.
Meski begitu ia menilai pada Gunung berapi aktif sudah dimonitor aktivitasnya secara berkala
"Idealnya seperti di merapi itu kemungkinan early warning-nya bisa lebih bagus. Tapi kelengkapan instrumentasi mungkin belum bisa merata ya untuk gunung berapi. Kalau saya melihat kendalanya di sensitivitas alat, yang perlu kita tingkatkan lagi ke depan," ," ujar Wiwit kepada CNNIndonesia.com lewat sambungan telepon, Rabu (8/12).
Ia menjelaskan beberapa instrumen untuk memantau aktivitas gunung api, di antaranya seismometer atau perekam sensor getaran pada permukaan tanah.
Dari situ dia mengatakan para pengamat bisa tahu magma dari perut Bumi itu terlihat dari hiposenternya. Jika grafik menunjukkan semakin ke atas artinya ada magma yang naik.
Kemudian ada sinyal yang disebut dengan tremor atau getaran yang berlanjut. Menurutnya, tremor vulkanik merupakan gerakan gempa yang muncul terus selama beberapa jam. Biasanya hal itu menandakan magma naik ke atas perut Bumi.
Selain itu ada pula teknologi tiltmeter untuk mendeteksi kembang-kempisnya gunung. Menurutnya, gunung yang akan meletus itu biasanya ada peningkatan tekanan di tubuh gunung.
Peningkatan tekanan itu menyebabkan tubuh gunung seperti mengembang. Dengan begitu ada sensor yang bisa mendeteksi bentuk gunung dinamakan sensor tiltmeter.
Ia mengatakan di Gunung Merapi, Jawa Tengah misalnya, memiliki aktivitas gempa yang signifikan, sehingga begitu gempanya banyak akan otomatis menunjukkan tanda naik. Berarti bisa disimpulkan bahwa gunung akan terjadi erupsi.
Nasib di tangan pengelola teknologi
Kemudian ada juga teknologi GPS monitoring dengan presisi tinggi. Jadi GPS itu bekerja mengamati gerakan pada badan gunung. Wiwit mengatakan kalau gunung berapi akan meletus ada pergerakan sangat kecil dari tubuh gunungnya.
"GPS yang presisi itu bisa mendeteksi dalam ukuran milimeter bahkan skala mikrometer. Tentu saja dengan pengolahan data yang terbilang cukup rumit. Tapi intinya kita bisa mendeteksi pergerakan tubuh gunung menggunakan GPS secara teliti," tuturnya.
Lebih lanjut dia mengatakan semakin banyak stasiun untuk menyimpan GPS, maka semakin banyak data yang bisa dilaporkan secara real time.
Ia mengatakan stasiun GPS dipasang di puncak hingga ke lereng-lereng gunung. Kemudian GPS dipasang di beberapa titik dan bisa melakukan maping. Secara berkelanjutan data pantauan akan dikirim dari stasiun tersebut ke pos pantauan.
Data yang dikirim berupa informasi perpindahan posisi satu titik yang ada di gunung. Jika posisi titik GPS menunjukkan pergeseran, maka bisa disimpulkam ada aktivitas dari objek pantauan.
Namun pantauan dari GPS itu masih dalam bentuk data, dan harus diterjemahkan oleh pengamat dan ahli gunung api di PVMBG.
Saat ini Wiwit menjelaskan di Gunung Semeru sudah memiliki stasiun pengamatan dan memiliki sensor pengamatan yang cukup banyak yaitu ada 4. Dengan begitu Wiwit menilai seharusnya sudah teramati secara baik getaran atau aktivitas Gunung Semeru.
Wiwit tak menampik bahwa berlangsungnya erupsi di gunung berapi terbilang singkat. Bahkan berkaca pada erupsi Gunung Merapi pada 2018, pernah terjadi erupsi tanpa ada tanda-tanda. Hal ini menyebabkan beberapa pendaki tak mendapat info terjadinya erupsi.
"Jadi kadang tidak bisa kita hindari. Seperti merapi 2018 yang pernah ada erupsi tanpa tanda, yang ketika itu masih ada pendaki," pungkasnya.
Dengan adanya bukti erupsi berlangsung cepat, Wiwit menilai sistem peringatan dini di gunung berapi Indonesia bukanlah sebuah ketidakmampuan teknologi pemantau gunung berapi di Indonesia. Tetapi bencana muncul dengan cepat sehingga kurangnya waktu untuk upaya antisipasi.
Sementara itu dihubungi terpisah Pakar Vulkanologi Universitas Gajah Mada (UGM), Herlan Darmawan menilai upaya pemerintah dalam penanggulangan bencana gunung api masih minim dan butuh sebuah analisa yang terintegrasi.
Seperti kejadian Gunung Semeru, menurutnya sebuah keprihatinan atas ketidakmampuan pengelola membaca tanda-tanda erupsi.
"Gunung semeru juga sudah banyak instrumennya, tetapi saya pikir yang diperlukan adalah analisisnya, analisis secara terintegrasi semuanya baik data gempa vulkanik, data informasi untuk melihat kembang kempisnya gunung," ujar Herlan.
Lebih lanjut ia menjelaskan seharusnya data dari aktivitas Gunung Semeru bisa segera dikumpulkan kemudian untuk menganalisis tren aktivitas Semeru. Ia berkeyakinan PVMBG kurang melakukan pemodelan serta membuat beberapa skenario erupsi. Sehingga hal itu dianggap Herlan harus terus ditingkatkan.
"Kalau Merapi sudah ada skenario untuk erupsi. Makanya Merapi bisa jadi percontohan untuk mitigasi gunung api," tuturnya.
Dia mengatakan pemerintah perlu melakukan evaluasi berkala serta memaparkan kondisi kekinian gunung berapi agar masyarakat tidak "terjebak" dalam situasi darurat hingga memakan korban jiwa.
Dalam proses membaca situasi kondisi gunung berapi, masyarakat di sekitar bisa diberikan informasi terbaru serta pelatihan evakuasi mandiri dan ini diharapkan dilakukan secara berkala untuk menghindari musibah.