ANALISIS

Teknologi Canggih di Balik Gagap Pengelola Pendeteksi Gunung Berapi

Chandra Erlangga | CNN Indonesia
Rabu, 08 Des 2021 17:48 WIB
Instrumen pemantau aktivitas gunung api sudah diterapkan di RI sesismometer atau perekam sensor getaran namun gagal mendeteksi erupsi.

Nasib di tangan pengelola teknologi

Kemudian ada juga teknologi GPS monitoring dengan presisi tinggi. Jadi GPS itu bekerja mengamati gerakan pada badan gunung. Wiwit mengatakan kalau gunung berapi akan meletus ada pergerakan sangat kecil dari tubuh gunungnya.

"GPS yang presisi itu bisa mendeteksi dalam ukuran milimeter bahkan skala mikrometer. Tentu saja dengan pengolahan data yang terbilang cukup rumit. Tapi intinya kita bisa mendeteksi pergerakan tubuh gunung menggunakan GPS secara teliti," tuturnya.

Lebih lanjut dia mengatakan semakin banyak stasiun untuk menyimpan GPS, maka semakin banyak data yang bisa dilaporkan secara real time.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mengatakan stasiun GPS dipasang di puncak hingga ke lereng-lereng gunung. Kemudian GPS dipasang di beberapa titik dan bisa melakukan maping. Secara berkelanjutan data pantauan akan dikirim dari stasiun tersebut ke pos pantauan.

Data yang dikirim berupa informasi perpindahan posisi satu titik yang ada di gunung. Jika posisi titik GPS menunjukkan pergeseran, maka bisa disimpulkam ada aktivitas dari objek pantauan.

Namun pantauan dari GPS itu masih dalam bentuk data, dan harus diterjemahkan oleh pengamat dan ahli gunung api di PVMBG.

Saat ini Wiwit menjelaskan di Gunung Semeru sudah memiliki stasiun pengamatan dan memiliki sensor pengamatan yang cukup banyak yaitu ada 4. Dengan begitu Wiwit menilai seharusnya sudah teramati secara baik getaran atau aktivitas Gunung Semeru.

Wiwit tak menampik bahwa berlangsungnya erupsi di gunung berapi terbilang singkat. Bahkan berkaca pada erupsi Gunung Merapi pada 2018, pernah terjadi erupsi tanpa ada tanda-tanda. Hal ini menyebabkan beberapa pendaki tak mendapat info terjadinya erupsi.

"Jadi kadang tidak bisa kita hindari. Seperti merapi 2018 yang pernah ada erupsi tanpa tanda, yang ketika itu masih ada pendaki," pungkasnya.

Dengan adanya bukti erupsi berlangsung cepat, Wiwit menilai sistem peringatan dini di gunung berapi Indonesia bukanlah sebuah ketidakmampuan teknologi pemantau gunung berapi di Indonesia. Tetapi bencana muncul dengan cepat sehingga kurangnya waktu untuk upaya antisipasi.

Sementara itu dihubungi terpisah Pakar Vulkanologi Universitas Gajah Mada (UGM), Herlan Darmawan menilai upaya pemerintah dalam penanggulangan bencana gunung api masih minim dan butuh sebuah analisa yang terintegrasi.

Seperti kejadian Gunung Semeru, menurutnya sebuah keprihatinan atas ketidakmampuan pengelola membaca tanda-tanda erupsi.

"Gunung semeru juga sudah banyak instrumennya, tetapi saya pikir yang diperlukan adalah analisisnya, analisis secara terintegrasi semuanya baik data gempa vulkanik, data informasi untuk melihat kembang kempisnya gunung," ujar Herlan.

Lebih lanjut ia menjelaskan seharusnya data dari aktivitas Gunung Semeru bisa segera dikumpulkan kemudian untuk menganalisis tren aktivitas Semeru. Ia berkeyakinan PVMBG kurang melakukan pemodelan serta membuat beberapa skenario erupsi. Sehingga hal itu dianggap Herlan harus terus ditingkatkan.

"Kalau Merapi sudah ada skenario untuk erupsi. Makanya Merapi bisa jadi percontohan untuk mitigasi gunung api," tuturnya.

Dia mengatakan pemerintah perlu melakukan evaluasi berkala serta memaparkan kondisi kekinian gunung berapi agar masyarakat tidak "terjebak" dalam situasi darurat hingga memakan korban jiwa.

Dalam proses membaca situasi kondisi gunung berapi, masyarakat di sekitar bisa diberikan informasi terbaru serta pelatihan evakuasi mandiri dan ini diharapkan dilakukan secara berkala untuk menghindari musibah.

(mik)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER