Jakarta, CNN Indonesia --
Dunia teknologi tidak hanya memberikan perkembangan, teknologi juga berpotensi menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti sejumlah bencana teknologi yang terjadi sepanjang 2021.
Pemanfaatan teknologi kerap menjadi salah sasaran atau gagal bekerja sepenuhnya, seperti kasus padamnya internet secara besara-besaran, serangan ransomware yang melumpuhkan, hingga serangkaian masalah untuk Meta.
Berikut sejumlah hal yang disebut sebagai bencana teknologi tahun 2021, dilansir dari CNN:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Kebocoran Data Facebook dan LinkedIn
Salah satu bencana teknologi yang kerap terjadi adalah kasus kebocoran data dari perusahaan ataupun lembaga yang mengumpulkan data dan informasi pribadi.
April 2021 lalu, pakar keamanan siber mengatakan informasi pribadi dari setengah miliar pengguna Facebook, termasuk nomor telepon, tanggal lahir, dan alamat email, telah diposting ke situs web yang digunakan oleh peretas.
Facebook mengatakan pada saat itu bahwa data yang sama sebelumnya telah dilaporkan diekstraksi dari profil orang-orang oleh penjahat pada 2019. Insiden itu sekali lagi menunjukkan betapa rentannya perusahaan yang mengumpulkan data pribadi dalam jumlah besar terhadap penjahat.
Pada bulan yang sama, LinkedIn pun mengkonfirmasi bahwa rincian dari sekitar 500 juta profil penggunanya telah dijual di situs web peretas.
Namun Linkedin mengatakan bahwa data yang dijual sebenarnya merupakan kumpulan data dari sejumlah situs web dan perusahaan dan hal tersebut bukan pelanggaran data di platform LinkedIn.
2. Salah Identifikasi Tersangka
Mei lalu, sebuah start up yang aplikasinya mengirimkan peringatan kejahatan secara real-time bernama Citizen menawarkan hadiah US$30 ribu atau sekitar Rp427 juta untuk membantu menemukan siapa yang pelaku kerusuhan di Los Angeles.
Aplikasi ini kemudian mengidentifikasi foto seorang pria yang diposting ke Signal. Dan informasi tersebut membuat polisi menahan seorang tersangka.
Namun ada satu masalah yang sangat besar, yakni identifikasi tersebut merupakan kesalahan.
Citizen disebut telah menggunakan fitur baru dalam aplikasinya yang disebut OnAir untuk menyiarkan informasi tentang tersangka, tetapi mengatakan gagal menjalankan protokol verifikasi sebelum menyebarkan informasi tersebut.
Simak bencana teknologi lainnya di halaman berikutnya..
3. Serangan Ransomware Skala Besar
Serangan ransomware disebut mengalami peningkatan tajam, terutama yang menargetkan bisnis dan infrastruktur penting.
Serangan dengan ransomware membuat peretas mendapatkan akses ke sistem komputer, yang pada beberapa kasus menyasar perusahaan untuk nantinya dimintai tebusan.
Sebuah serangan besar pada Mei lalu menyoroti kerentanan infrastruktur Amerika Serikat terhadap kejahatan semacam itu, tepatnya pada kasus Colonial Pipeline.
Salah satu jaringan pipa bahan bakar terbesar di AS, Colonial Pipeline terpaksa menghentikan operasinya ketika jaringannya terkena serangan siber.
CEO Colonial Pipeline kemudian mengaku membayar US$4,4 juta atau sekitar Rp42,7 miliar sebagai uang tebusan untuk membuat jaringan perusahaan aktif dan berjalan kembali.
4. Trump
Pidato Trump pada masa Pemilu Amerika Serikat bukan satu-satunya hal yang memicu kemarahan publik dan membuat mereka turun ke ibukota, dan berujung kerusuhan yang mengakibatkan lima kematian.
Trump menggunakan Twitter dan Facebook untuk mendorong klaim bahwa pemilu 'dicuri', atau dicurangi sejumlah pihak. Pembicaraan tentang revolusi meledak di situs media sosial konservatif seperti Parler, yang kemudian menghilang setelah kerusuhan selesai.
Insiden kerusuhan tersebut menyebabkan Facebook dan Twitter melarang Trump dari platform mereka. Namun sayangnya, pada saat itu kerusakan telah terjadi.
Menanggapi hal tersebut, Chief Operating Officer Facebook Sheryl Sandberg mengambil kritik karena mengatakan kerusuhan Capitol AS sebagian besar tidak diorganisir di platform perusahaannya.
5. Misinformasi
Misinformasi bukanlah masalah baru di dunia teknologi, hal ini menjadi masalah pada 2020 lalu dan terus berlanjut pada 2021.
Misinformasi seperti teori konspirasi yang berbahaya tentang risiko vaksin atau munculnya QAnon, yang membuat semakin sulit untuk membedakan antara informasi asli dan informasi palsu.
Dilansir dari CNET, jumlah misinformasi anti-vaksin telah menyebabkan tingkat vaksinasi terhenti, menaikkan beban kasus dan mengirim lebih banyak orang ke ICU.
Sebagian besar kesalahan tersebut disebabkan oleh media sosial seperti Facebook, Twitter dan YouTube, di mana teori konspirasi, klaim palsu, dan informasi yang bertebaran dengan cepat.
Pada tahun ini misinformasi dimulai sejak awal, dengan Hari Tahun Baru yang diwarnai dengan klaim palsu tentang kecurangan pemilu.