Letusan gunung api bawah laut Tonga pada Sabtu (15/1) dilaporkan menghasilkan gelombang tekanan yang mampu menggetarkan atmosfer.
Letusan gunung berapi Hunga Tonga-Hunga Ha'apai tersebut menyebabkan pola gelombang atmosfer yang cukup rumit, terlebih di area yang lebih dekat dengan area letusan.
Gelombang yang dihasilkan letusan ini kemudian menyebar sejauh ribuan kilometer sebagai gelombang terisolasi yang berjalan secara horizontal dengan kecepatan lebih 1.046 kilometer per jam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepala ilmuwan di Goddard Space Flight Center, NASA, James Garvin mengatakan bahwa NASA memperkirakan ledakan gunung di Tonga berkekuatan sekitar 10 megaton setara TNT, dan sekitar 500 kali lebih kuat dari bom yang dijatuhkan di Hiroshima, Jepang pada Perang Dunia II.
Dari pengamatan satelit dengan sensor infra merah, gelombang atmosfer tampak seperti riak air yang terbentuk saat batu dijatuhkan ke kolam.
Getaran akibat letusan tersebut yang tercatat sebagai gangguan pada tekanan atmosfer berlangsung beberapa menit di sejumlah wilayah, seperti Amerika Utara, India, Eropa, dan banyak tempat lain di seluruh dunia.
Mantan Profesor Ilmu Atmosfer dari Universitas Hawai'i di Manoa, Kevin Hamilton mengatakan perluasan muka gelombang dari letusan Tonga adalah contoh yang sangat spektakuler dari fenomena propagasi global gelombang atmosfer yang telah terlihat setelah peristiwa ledakan bersejarah.
"Letusan ini begitu kuat sehingga menyebabkan atmosfer berdering seperti lonceng, meskipun pada frekuensi yang terlalu rendah untuk didengar. Ini adalah fenomena yang pertama kali diteorikan lebih dari 200 tahun yang lalu," katanya, seperti dikutip dari Live Science.
Lebih dari 200 tahun yang lalu, matematikawan, fisikawan, dan astronom Prancis, Pierre-Simon de Laplace meramalkan fenomena getaran atmosfer.
Laplace mendasarkan teorinya pada persamaan fisik yang mengatur gerakan atmosfer dalam skala global. Dia meramalkan bahwa harus ada penyematan kelas pada gerakan di atmosfer yang menyebar dengan cepat dan seakan-akan memeluk permukaan bumi.
Laplace menunjukkan bahwa gaya gravitasi dan daya apung atmosfer mendukung pergerakan udara secara horizontal, yang salah satu efeknya adalah memungkinkan beberapa gelombang atmosfer mengikuti lengkungan Bumi.
Untuk sebagian besar ilmuwan abad ke-19, hal tersebut tampak seperti ide yang agak abstrak. Tetapi data setelah letusan Krakatau pada 1883 menunjukkan bahwa apa yang diteorikan Laplace adalah benar dan bahwa gerakan gelombang yang "memeluk" Bumi ini dapat menyebar dengan jarak yang sangat jauh.
Saat ini pemahaman tentang fenomena gelombang tersebut digunakan untuk mendeteksi ledakan nuklir yang berada pada jarak jauh.
(lom/mik)