Meski demikian keberadaan contrails di udara bergantung pada kondisi atmosfer. Seperti penyinaran matahari, perbedaan temperatur, dan perubahan instan arah dan kecepatan angin. Pada kondisi atmosfer yang stabil, contrails dapat bertahan lama dan menyebar secara lateral.
"Contrails menjadi fenomena yang penting dalam pembahasan mengenai pemanasan global. Hal ini karena keberadaannya di lapisan udara yang tinggi dapat memiliki karakter yang mirip dengan awan cirrus," lanjutnya.
Ia menjelaskan awan cirrus merupakan awan lapisan udara tinggi, yang dapat memantulkan balik radiasi gelombang panjang kembali ke permukaan bumi. Akibatnya temperatur di permukaan bumi dapat menjadi lebih panas dari kondisi normalnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Urip mengatakan ada dua pendekatan untuk menjawab kesalahan informasi mengenai fenomena contrails dan wabah Omicron.
Pertama, Arias-Reyes, et al. yang berjudul Does the pathogenesis of SARS-CoV-2 virus decrease at high-altitude?. Respiratory physiology & neurobiology. Disimpulkan bahwa proses pembentukan unsur patogen berbahaya dari virus SARS-CoV-2 berkurang pada lokasi dengan elevasi tinggi.
"Hal ini disebabkan karena virus tidak dapat bertahan lama pada lingkungan seperti ini karena minimnya lapisan oksigen. Contrails biasanya nampak pada ketinggian 7.000 meter sampai dengan 13.000 meter dengan lapisan oksigen yang sangat tipis," ungkap Urip
Lebih lanjut, jika terdapat virus SARS-CoV-2 keberadaan sinar ultraviolet (UV) di udara mampu mematikan virus ini, sehingga tidak dapat menyebar secara luas dan sampai ke permukaan.
"Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa chemtrails dan penyebaran Omicron merupakan informasi yang tak tepat dan dibuat untuk menciptakan keresahan masyarakat," tutup Urip.