Metode 'cuci otak' mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dinilai tak bisa menjadi sahih hanya karena jutaan testimoni. Tanpa pengujian empirik, teknik itu tak ubahnya seperti 'batu Ponari' atau 'tongkat Perkins'.
Sebelumnya, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) merekomendasikan pemberhentian Terawan dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) salah satunya didasarkan oleh metode 'cuci otak' itu.
Terapi penyakit stroke itu juga dikenal sebagai Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF) yang merupakan modifikasi Digital Subtraction Angiography (DSA).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ketika pasien meyakini bahwa itu bisa menyembuhkan. Tak heran, jika 'batu Ponari' pun pernah berhasil menyembuhkan berbagai penyakit pada ratusan orang. Perlu dipahami, dunia kedokteran tak memberi tempat untuk testimoni karena tak bisa diuji," kata Pengamat Masalah Kesehatan Bambang Budiono melalui keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Jumat (8/4).
"Sekalipun diucapkan oleh seorang Menteri atau bahkan presiden pun, testimoni tak akan pernah memiliki nilai setara bukti klinis," imbuhnya.
Diketahui, Ponari, bocah asal Jombang, Jawa Timur, sempat menarik perhatian massa, pada 2009, lantaran memiliki batu yang diklaim ajaib hingga bisa mengobati berbagai penyakit. Ratusan orang bisa mengantri di rumahnya menanti sentuhan ajaib batu itu. Kini, itu hanya tinggal cerita.
Bambang, yang juga dokter spesialis jantung itu, melanjutkan, dalam menguji keampuhan suatu metode pengobatan, terdapat beberapa cara atau metodologi yang lazim dilakukan dan telah diterima secara luas di dunia medis.
Di antaranya, dapat menggunakan hasil antara atau 'surrogate end point'. Misalnya ketika melihat adanya perubahan penanda khusus dari hasil laboratorium, melihat perubahan dari pencitraan khusus seperti kardiologi nuklir, ekokardiografi, dan lain-lain, yang kemudian digunakan untuk melihat dampak suatu pengobatan.
Selain itu, dokter maupun peneliti dapat menggunakan data klinis sebagai hasil akhir, seperti misalnya pada peningkatan kemampuan fisik, penurunan kekerapan dirawat di rumah sakit, penurunan kejadian serangan penyakit, dan lainnya.
Keunggulan suatu metoda pengobatan, katanya, bisa dilakukan dengan membandingkan obat atau metode baru dengan terapi standar atau membandingkan dengan suatu bahan yang tidak aktif yang disebut plasebo.
"Penelitian yang terbaik jika dilakukan randomisasi atau acak. Pasien dan dokter tak tahu yang mana obat aktif dan mana plasebo, karena kemasan plasebo dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk obat atau zat aktif, biasanya akan diberi kode dan pada akhir penelitian baru dibuka untuk mengetahui mana yang zat aktif dan mana yang plasebo," jelasnya.
Bambang kemudian mewanti-wanti, plasebo dapat memiliki dampak seperti zat aktif, baik khasiat maupun efek sampingnya. Sehingga tidak asing menurutnya apabila ada pasien yang memperoleh kapsul berisi tepung, namun bisa mengakibatkan penurunan kadar gula darah, tensi darah, hingga kadar kolesterol.
Dengan melihat kondisi itu, Bambang menyebut bahwa penelitian dengan desain yang baik akan menjawab apakah obat atau metode yang diberikan pada pasien itu benar-benar memiliki manfaat klinis. Semakin banyak yang terlibat penelitian, semakin kuat kesimpulan yang didapat.
Bambang kemudian mengingatkan kisah nyata tentang tongkat Perkins temuan Elisha Perkins, ahli bedah Angkatan Darat Kontinental selama Pertempuran Bunker Hill saat Perang Revolusi Amerika, 1795-1996
Perkins kemudian mematenkan alat tersebut selama 14 tahun pada 19 Februari 1796. Tongkat tersebut terdiri dari dua batang logam 3 inci dengan ujung runcing.
Dia mengklaim tongkat ciptaannya terbuat dari paduan logam yang tidak biasa dan bisa menyembuhkan berbagai peradangan, rematik, dan nyeri kepala dan wajah. Testimoni dari mulut ke mulut membuat metode itu mengalami 'booming' di masa itu.
"Perkins mengklaim cara ini bisa mengeluarkan cairan listrik berbahaya yang menjadi penyebab keluhan pasien," tutur Bambang.
Bambang melanjutkan, Ikatan Dokter Connecticut kala itu mengutuk metode itu sebagai 'perdukunan delusi, dan mengeluarkan Perkins dari keanggotaan. Namun Perkins berhasil meyakinkan tiga fakultas kedokteran AS bahwa metodenya berhasil. Di Kopenhagen, Denmark, dua belas ahli bedah di Royal Frederick Hospital juga mulai mendukung metode itu.
Bersambung ke halaman berikutnya...