Hari Bumi 2022 menghadirkan sejumlah fakta yang belum banyak diketahui terutama terkait dengan dampak perubahan iklim dan pemanasan global. Di antaranya, soal industri fashion atau fesyen.
Peringatan Hari Bumi tiap 22 April merupakan acara tahunan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang masalah lingkungan yang mendorong terjadinya perubahan iklim.
Ini diperingati di seluruh dunia dengan berbagai kegiatan. Mulai dari aksi unjuk rasa, konferensi, proyek sekolah, dan kegiatan lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senator Gaylord Nelson memulai Hari Bumi pada 1970. Acara tersebut membantu meningkatkan dukungan publik untuk pembentukan Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) untuk mengatasi masalah lingkungan.
Selain itu, Susan Clayton, seorang profesor psikologi dan studi lingkungan di The College of Wooster di Ohio mengungkapkan bahwa Hari Bumi mengingatkan orang untuk berpikir tentang nilai-nilai kemanusiaan, ancaman yang dihadapi planet ini dan cara membantu melindungi lingkungan.
"Memikirkan sejarah aktivisme lingkungan dan cara individu bekerja sama untuk mengubah kebijakan dapat membuat kita lebih optimis tentang kemampuan untuk membuat perubahan positif di masa depan," kata Clayton dilansir Live Science.
Berikut fakta-fakta tentang Hari Bumi terkait perubahan iklim yang dikutip dari CBS News:
Laporan yang ditulis oleh Global Fashion Aenda dan McKinsey and Company menyebut sektor fesyen pada 2018 bertanggung jawab atas 2,1 miliar metrik ton emisi gas rumah kaca atau 4 persen dari total emisi global.
Lihat Juga :Jakarta Fashion Week 2016 Saatnya Menggerakkan Industri Fesyen yang Ramah Lingkungan |
Studi ini menemukan bahwa 70 persen dari emisi industri fashion berasal dari kegiatan hulu seperti produksi dan pemrosesan bahan. Para peneliti memperkirakan emisi gas rumah kaca dari industri fesyen akan meningkat menjadi hampir 2,7 miliar ton setiap tahun pada tahun 2030 jika tidak ada tindakan lebih lanjut.
"Orang biasanya hanya mendapatkan sedikit kegunaan dari barang-barang ini dan kemudian membuangnya, berkontribusi pada lebih banyak limbah dan emisi. Pakaian kita harus tahan bertahun-tahun," Yaheya Heikal, CEO perusahaan pengelolaan lingkungan Futurae Vision.
Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), 80 persen air limbah dunia mengalir kembali ke ekosistem tanpa diolah atau digunakan kembali dan 44 persen air limbah rumah tangga tidak diolah dengan aman di seluruh dunia.
Karena itu, 1,8 miliar orang di seluruh dunia memanfaatkan sumber air minum yang berpotensi terkontaminasi tinja. Mereka yang mengonsumsi air yang tidak diolah berisiko tertular penyakit seperti kolera, disentri, tifus, dan polio.
PBB melaporkan negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah berada pada risiko terbesar terpapar polutan dalam air karena populasi yang lebih tinggi, kurangnya sistem pengelolaan air limbah, serta masalah ekonomi.
"Ketika populasi tumbuh dan lingkungan alam menjadi terdegradasi, memastikan ada pasokan air yang cukup dan aman untuk semua orang menjadi semakin menantang. Bagian utama dari solusinya adalah mengurangi polusi dan meningkatkan cara mengelola air limbah," kata PBB.
Menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, empat dekade terakhir masing-masing berturut-turut lebih hangat daripada dekade sebelumnya sejak 1850. Para ilmuwan menyimpulkan bahwa gas rumah kaca dari aktivitas manusia berada di belakang perkiraan pemanasan 1,1 derajat Celcius antara tahun-tahun 1850 hingga 1900.
Kepala Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres memperingatkan bahwa planet ini berada di jalur menuju pemanasan global lebih dari dua kali lipat batas 2,7 derajat Fahrenheit yang disepakati dalam Perjanjian Iklim Paris 2015 pada April ini. Bahkan Guetteres menyebut dunia sudah sangat dekat dengan batas pemanasan global.
Bersambung ke halaman berikutnya...