Rencana miliarder Elon Musk membuka blokir terhadap akun Twitter terlarang seperti eks Presiden AS Donald Trump dinilai bisa memicu pengguna kabur ke media sosial lain. Namun demikian, tiap negara tetap bisa membatasi kebebasan itu.
"Ketika nanti Elon Musk tetap membiarkan ide dia untuk menjadikan Twitter itu sebebas-bebasnya, mungkin ditolak di beberapa negara," ucap pakar komunikasi digital dari Universitas Indonesia Firman Kurniawan, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (12/11).
"Atau orang-orang tertentu akan mengundurkan diri, sama seperti orang Indonesia ketika banyak kampanye hitam jelang pilkada. Banyak yang mengundurkan diri sejenak menunggu pilkada selesai, hingga enggak mau lagi pakai Facebook," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, Musk mengaku akan mencabut larangan terhadap akun Twitter Trump, yang kicauannya kerap dikategorikan hoaks serta memprovokasi kericuhan pada Pilpres AS 2020, jika sudah merampungkan proses akuisisi platform media sosial itu.
Ia juga jauh-jauh hari menggaungkan soal kebebasan berpendapat meski tetap mengaku mengacu pada hukum.
"[Fenomena eksodus] sangat mungkin terjadi terhadap Twitter. Ketika Twitter dibiarkan bebas dan orang ada yang mencaci-maki, untuk mengancam dan sebagainya, kan suasananya menjadi tidak nyaman walaupun atas nama kebebasan," lanjut Firman.
"Tetapi orang yang tidak cocok dengan itu pasti akan memilih platform lain," sambung dia.
Firman mengatakan kebebasan di jagat maya tidak bisa diserahkan begitu saja kepada pasar. Menurutnya, tetap harus ada peran pengelola media sosial dengan mempertimbangkan budaya di tiap wilayah.
"Twitter yang di bawah Elon Musk berpotensi enggak sesuai dengan definisi kebebasan berekspresi masing-masing negara dan budaya," ujarnya.
Di samping itu, Firman memprediksi Pemerintah Indonesia akan memblokir operasional Twitter jika kebebasan berpendapatnya berlebihan.
"Iya harus begitu. Negara tidak boleh tunduk oleh sebuah perusahaan platform. Negara harus punya visinya masing-masing," ungkapnya.
Contohnya, aplikasi pesan instan Telegram yang urung diblokir di Indonesia dengan barter pengaturan konten yang dinilai membahayakan, termasuk terkait terorisme, oleh Pemerintah.
"Ketika Telegram digunakan untuk pertukaran informasi terorisme dan sebagainya, maka pihak berwenang diizinkan untuk masuk dan negara bisa minta take down (penurunan konten)," tuturnya.
(can/arh)