Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar membantah kualitas udara di DKI Jakarta menjadi yang terburuk di seluruh dunia sambil menyebut data di situs IQAir berbeda dengan yang dipakai oleh pemerintah selama ini.
"Pada saat yang sama, DKI bukan yang sekian itu, nomor 44," kata Siti di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (20/6).
Dia yang merupakan politikus Partai NasDem ini meminta publik memperhatikan metode yang dipakai dalam menentukan kualitas udara sebuah kota.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari situs KLHK, pengukuran kualitas udara menggunakan perhitungan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) hasil pantauan puluhan stasiun yang tersebar di berbagai provinsi. Angkanya bisa diakses lewat website dan app.
Parameter yang digunakan adalah Partikulat (PM 10 dan PM 2.5), Karbon Monoksida (CO), Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen Dioksida (NO2), Ozon (O3), dan Hidrokarbon (HC).
Metode perhitungan ISPU mengacu pada Peraturan Menteri LHK No.14 Tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemar Udara. ISPU dihitung dari data hasil pemantauan kualitas udara ambien dengan stasiun pemantau yang beroperasi secara otomatis dan kontinu (AQMS).
Berdasarkan pantauan situs ISPU KLHK per Rabu (22/6) pukul 12.06 WIB, empat stasiun pemantauan udara DKI menunjukkan kualitas udara sedang (warna biru), dengan angka 91 di Stasiun Kebon Jeruk, Jakbar; 88 di stasiun GBK, Jakpus; 83 di Stasiun Bundaran HI, Jakpus; dan 91 di Stasiun Kelapa Gading, Jaktim.
Cuma satu stasiun yang menunjukkan kualitas udara tidak sehat, yakni Stasiun Lubang Buaya, Jaktim, dengan angka 116.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus Presiden Joko Widodo (tergugat I) hingga Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (tergugat V) melakukan perbuatan melawan hukum terkait pencemaran udara di wilayah DKI Jakarta, September 2021.
Hal itu berdasarkan gugatan 32 warga lewat jalur citizen law suit dengan diadvokasi oleh Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Koalisi Ibukota).
Saat itu, Hakim menilai para tergugat telah lalai dalam pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat di wilayah DKI Jakarta.
Majelis hakim menghukum Presiden untuk menetapkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hakim juga menghukum Anies untuk melakukan pengawasan terhadap ketaatan setiap orang mengenai ketentuan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran udara dan atau ketentuan dokumen lingkungan hidup.
Selain itu, Anies diminta menjatuhkan sanksi terhadap setiap orang yang melakukan pelanggaran ketentuan-ketentuan itu, serta menetapkan baku mutu ambien daerah yang cukup untuk melindungi kesehatan dan lingkungan "berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi".
Namun demikian, kasus ini masih berjalan karena pihak pemerintah mengajukan banding.
(tim/arh)