"Salah satu momen puncak kebanggaan AS adalah melihat bendera mereka di permukaan Bulan," kata Prof Ojha.
Buzz Aldrin memberi hormat pada bendera Amerika yang berkibar di Bulan. Foto tersebut menjadi salah satu ikon dari misi Apollo 11, sebuah deklarasi supremasi AS atas persaingan perlombaan antariksa Uni Soviet.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika itu, AS memang sedang bersaing teknologi dengan Uni Soviet. Perseteruan keduanya disebut Perang Dingin.
Dalam foto itu, bendera AS terlihat seperti berkibar. Hal itulah yang membuat para pengusung teori konspirasi berpikir pendaratan ini palsu.
Pasalnya, tidak ada angin di Bulan. Jika lebih teliti lagi melihat foto itu, Ojha menilai di tepi atas bendera terdapat sebuah tiang teleskopik yang diperpanjang untuk membuat bendera berkibar.
"Karena sudah diatur seperti ini, tampaknya melambai-lambai ditiup angin," jelas Ojha. "Terlihat kusut karena empat hari dalam perjalanan ke Bulan," imbuhnya.
Apollo 17 adalah misi Apollo terakhir untuk mendaratkan astronaut di Bulan yang terjadi pada tahun 1972. Sejak itu, manusia tidak pernah kembali.
Sepanjang tahun 1970-an ada ambisi untuk membangun pangkalan bulan permanen sebelum beralih ke tantangan eksplorasi ruang angkasa besar berikutnya: Mars. Tapi itu tidak pernah terjadi, bukan karena konspirasi besar, melainkan faktor geopolitik.
"Jawabannya adalah kami mengubah prioritas kami," kata Ojha "Dari kombinasi Perang Vietnam, tetapi juga ada elemen pemikiran geopolitik, 'Kami telah memenangkan perlombaan'. Sama seperti kami pandai melakukan sains di Bulan, lalu kami meninggalkannya."
Alih-alih, perhatian beralih ke program Pesawat Ulang-alik dan, terakhir, Stasiun Luar Angkasa Internasional, yang telah dihuni secara permanen oleh tim astronaut sejak November 2000. Tapi itu tidak berarti manusia tidak bisa kembali ke Bulan di masa depan.
(lth)