Perjalanan Burungnesia juga melahirkan satu hal menarik, yakni bantuan dari para pemburu burung. Mereka berhenti berbeuru karena matanya dibukakan tentang potensi burung di alam secara ekonomi.
"Itu banyak pemburu yang "libur" dari berburu, kemudian area berburunya dijadikan area wisata, fotografi," terang Swiss.
Swiss menjelaskan bagaimana 'menjual' burung tak hanya terbatas sebagai peliharaan atau daging, melainkan sebagai objek wisata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Analoginya seperti ini, dia suka berburu [burung] Paok atau Pancawarna, mereka ambil burung dari alam lalu dijual ke pasar. Satu ekor dijual sekitar 10-50 ribu. Besok dia harus pindah ke lokasi baru untuk cari burung lain karena di lokasi tadi sudah habis. Harus cari spot baru. Gitu terus sampai akhirnya dia kelilingi hutan udah enggak ada lagi burungnya, sudah diambil semua," jelasnya memberikan contoh.
Hal tersebut akan sangat berbeda jika pemburu menjadi guide. Mereka menemukan burung di satu lokasi, melakukan pengondisian lingkungan agar fotografer atau wisatawan dapat berkunjung dengan nyaman, lalu mereka bisa menerima tamu berulang kali, sementara burungnya masih ada di lokasi tersebut.
Meski demikian, Swiss menyebut hijrahnya para pemburu ini bukan semata karena Burungnesia, melainkan beberapa pihak seperti agen tour yang membawa tamu hingga NGO yang memberi pekerjaan lain untuk pemburu jika sedang sepi pengunjung.
Lihat Juga :101 SCIENCE Apakah Hewan Bermimpi? |
Sayangnya, meski banyak pemburu burung yang sudah bertaubat, permintaan pasar terhadap burung masih cukup tinggi, sehingga belum memberikan dampak terlalu besar bagi kelestarian burung di alam.
Kebutuhan pasar akan burung disebut Swiss harusnya dipenuhi oleh penangkaran.
Lebih lanjut, Burungnesia kini telah berumur 6 tahun. Tanpa bantuan modal dari pihak mana pun, termasuk berupaya mengemis dana riset, mereka memilih melakukan pendanaan mandiri alias self funding untuk menghidupi platform-nya.
Beberapa self funding yang mereka lakukan adalah berjualan kaos, poster, mengembangkan wisata pengamatan burung, hingga membuat cafe yang kini menjadi markas mereka di Batu, Malang.
Lihat Juga :101 SCIENCE Apa Jadinya Jika Dunia Tanpa Nyamuk? |
Pada 2020, mereka juga meluncurkan Atlas Burung Indonesia, buku berisi 713 spesies dari total 1.794 spesies burung di Indonesia setebal 616 halaman. Semua keuntungan penjualan Atlas Burung Indonesia dipakai untuk kebutuhan Burungnesia.
Swiss menyebut dia dan rekan-rekannya cukup nyaman dengan model kerja semacam ini. Utamanya karena dia ingin terus menjaga kepercayaan semua orang yang terlibat di Burungnesia, baik user sebagai kontributor maupun tim internal Burungnesia.