CEK FAKTA

Apa yang Salah dari Kabar Varian Covid Tingkat Kematian 80 Persen?

CNN Indonesia
Senin, 31 Okt 2022 07:41 WIB
Berita soal ilmuwan AS menciptakan varian Covid-19 dengan tingkat kematian 80 persen punya kesalahan mendasar. Simak rinciannya di sini.
Ilustrasi. Studi di Boston University menuai kontroversi akibat pemberitaan bombastis. (Foto: iStockphoto/DMEPhotography)
Jakarta, CNN Indonesia --

Kabar ilmuwan AS menciptakan varian Covid-19 dengan tingkat kematian 80 persen bermula dari media yang salah menafsirkan penelitian di Boston University. Media sosial pun menyantapnya untuk makin menyebarkan hoaks dan memicu ketakutan.

Situs cek fakta AFP mengungkap beberapa media yang paling awal mengabarkan disinformasi itu.

"ARREST THEM NOW: Boston University Doctors Create New COVID Variant that Has 80% Kill Rate - Funded by Dr. Fauci and NIH," demikian headline The Gateway Pundit pada 17 Oktober 2022, situs yang berulangkali menerbitkan artikel yang melenceng soal kesehatan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Artikel itu setidaknya disebar 2.500 kali di Facebook dan dibuat video oleh Rumble yang ditonton 19.000 kali dan Bitchute yang dilihat 11,400 kali.

Di hari yang sama, media Inggris Daily Mail menerbitkan sebuah artikel berjudul, "Boston University CREATES a new Covid strain that has an 80% kill rate - echoing dangerous experiments feared to have started pandemic."

Kontroversi pun menyebar di Twitter, Facebook, Instagram. Media dalam negeri pun mengutip sumber berita yang tak jelas itu dan memainkan judul bombastis.

Lalu, apa yang salah dari kabar-kabar itu?

1. Peneliti tak buat virus

Dikutip dari factcheck.org, judul-judul berita itu, yang memakai diksi 'create' atau 'menciptakan' atau 'membuat', salah menggambarkan inti penelitian. Judul-judul itu memperkuat teori konspirasi lama yang tidak punya dasar. Bahwa, Corona alias SARS-CoV-2 dibuat di laboratorium.

Sejauh ini, asal-usul virus tidak diketahui secara pasti. Penelitian hingga saat ini menunjukkan bahwa virus itu secara alami menyebar dari hewan ke manusia, baik langsung dari kelelawar atau, lebih mungkin, dari perantara pembawa.

Para peneliti hanya menggabungkan protein lonjakan Omicron (spike protein Omicron atau yang ramai disebut Omi-S) dengan strain leluhur virus, dan membandingkannya dengan varian Omicron yang beredar secara alami.

"Kami menghasilkan SARS-CoV-2 rekombinan chimeric yang mengkodekan gen S Omicron di tulang punggung isolat SARS-CoV-2 leluhur (strain) dan membandingkan virus ini dengan varian Omicron yang beredar secara alami," demikian tertera dalam abstrak penelitian.

Dalam pernyataan terpisah, Boston University mengatakan "penelitian ini bukan penelitian gain-of-function, artinya tidak memperkuat strain virus SARS-CoV-2 [leluhur] atau membuatnya lebih berbahaya".

"Faktanya, penelitian ini membuat replikasi virus menjadi kurang berbahaya," imbuh mereka.

Senada, ketua mikrobiologi molekuler dan imunologi di Johns Hopkins University Arturo Casadevall mengatakan penelitian itu "masuk akal" dan tidak menciptakan jenis baru yang mematikan.

"Mereka mengambil bagian dari kode Omicron yang sudah beredar dan meletakkannya di virus yang telah diuji pada banyak umat manusia," katanya.

Craig Wilen, profesor dari Fakultas Kedokteran Yale University, mengatakan itu merupakan virus yang dimodifikasi hingga "kurang mematikan dan kurang patogenik pada tikus, dan itu memberi kami informasi penting."

Victor DiRita, ketua Departemen Mikrobiologi dan Genetika Molekuler di Michigan State University, menjelaskan, "Para peneliti tidak memasukkan protein ke dalam virus yang sama sekali berbeda, tetapi mereka mengajukan pertanyaan bernuansa menggunakan garis keturunan yang terkait erat," katanya kepada AFP.

2. Tingkat kematian pada tikus lemah

Tingkat kematian 80 persen yang jadi tajuk utama media-media itu sebenarnya merujuk pada efek virus hibrida pada tikus, bukan manusia.

Jenis tikus yang digunakan dalam percobaan itu pun rentan terhadap penyakit parah saat terpapar SARS-CoV-2. Tikus semacam itu, yang disebut K18-hACE2, dibiakkan untuk penelitian dan telah sering digunakan untuk mempelajari virus selama pandemi.

Angka 80 persen sendiri muncul dari salah satu seri percobaan bahwa delapan dari 10 tikus meninggal usai terpapar virus hibrida milik peneliti Boston University.

Seri percobaan lainnya mengungkap enam tikus lain yang terpapar virus Corona dari negara bagian Washington, AS, yang tak dimodif meninggal alias 100 persen. Namun, tak satu pun dari 10 tikus yang terpapar varian Omicron yang tidak diubah mati.

Direktur NEIDL di Boston University dan ketua mikrobiologi di Chobanian & Avedisian School of Medicine Ronald Corley menjelaskan penelitian ini dimulai dalam kultur jaringan, dan kemudian pindah ke model hewan.

"Model hewan yang digunakan adalah jenis tikus tertentu yang sangat rentan, dan 80 hingga 100 persen tikus yang terinfeksi meninggal karena penyakit dari jenis aslinya, yang disebut strain Washington," kata Corley.

"Padahal Omicron menyebabkan penyakit yang sangat ringan pada hewan-hewan ini," lanjutnya.

Dia mengatakan angka 80 persen yang digunakan dalam headline berita "benar-benar salah menggambarkan tidak hanya temuan, tetapi [juga] tujuan penelitian."

3. Bukan itu intinya

Menurut dokumen pracetak studi di bioRxiv, penelitian pada virus corona ini disebut bertujuan untuk mempelajari apakah protein lonjakan Omicron, dengan banyak mutasinya, bertanggung jawab atas penularan tinggi varian Covid dan hubungannya dengan penyakit yang dilemahkan.

Hasilnya, para pakar dari Boston University menyimpulkan bahwa bukan mutasi pada protein lonjakan (spike protein) yang membuat Omicron berkurang keganasannya.

Sebab, virus versi lama yang dipasangkan dengan protein lonjakan omicron (Omi-S) masih menyebabkan kematian pada tikus. Sebaliknya, tingkat keparahan penyakit kemungkinan ditentukan oleh bagian lain dari virus. 

"Konsisten dengan penelitian yang diterbitkan oleh orang lain, karya ini menunjukkan bahwa bukan protein lonjakan yang mendorong patogenisitas Omicron, melainkan protein virus lainnya. Penentuan protein tersebut akan mengarah pada diagnosa dan strategi manajemen penyakit yang lebih baik," kata Mohsan Saeed, salah satu peneliti Boston University.

(lom/arh)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER