Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menegaskan, prakiraan cuaca yang dikeluarkan sudah mengikuti standar dunia yang diakui Badan Meteorologi Dunia (WMO). Kualitas data yang digunakan pun diklaim bukan kaleng-kaleng.
"Metode yang kami lakukan menggunakan standar dunia, kami mengeluarkan prakiraan cuaca mengeluarkan prediksi itu bukan karena kami belajar sendiri. Itu diatur oleh WMO, karena cuaca itu dibutuhkan untuk penerbangan di mana akurasi harus 100 persen, sehingga WMO membina mengatur dari validitas dan akurasi informasi yang dikeluarkan," ujar Dwikorita Karnawati selaku Kepala BMKG dalam konferensi pers secara daring, Kamis (29/12).
Menurutnya, kualitas data dan informasi dari BMKG sekelas Australia, India, dan beberapa negara lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kualitas data dan informasi dari BMKG itu sekelas Australia dan beberapa negara seperti India, sehingga BMKG dipercaya untuk melatih, mentraining BMKG-nya di negara Pasifik, di negara Afrika, di Asia dan Timor Leste. Kami mentraining agar bisa memberikan prakiraan cuaca seperti standar dunia," tutur Dwikorita.
Dwikorita menjelaskan saat melakukan forecasting (prakiraan), ada enam model yang dijalankan secara bersamaan. Selain itu, harus ada verifikasi yang dilakukan berdasarkan pengalaman forecaster. Kemudian, data tersebut juga perlu diverifikasi dengan data radar.
Dengan demikian, data pemodelan tidak langsung dilepas menjadi data ramalan cuaca. Ada sederet kontrol kualitas yang dilakukan terlebih dahulu oleh BMKG.
BMKG menggunakan satelit Himawari dari Japan Meteorological Agency (JMA) atau Badan Meteorologi Jepang. Satelit tersebut mengorbit di ketinggian sekitar 35.800 dari ekuator Bumi.
Menurut keterangan resminya, Himawari 8/9 merupakan suksesor dari satelit MTSAT dan dilengkapi dengan teknologi Highly Improved Advanced Himawari Imagers (AHIs). JMA menargetkan sistem observasi satelit yang stabil dan berkelanjutan dengan pengoperasian Himawari-8 dan -9.
Fungsi paling berharga dari satelit ini adalah kemampuan memantau fenomena atmosfer secara global dan seragam di berbagai daerah seperti laut, gurun dan pegunungan di mana pengamatan berbasis permukaan sulit dilakukan.
BMKG sendiri memanfaatkan Himawari untuk beragam tujuan. Dikutip dari situs resminya, BMKG di antaranya memanfaatkan metode RGB pada Himawari untuk mengamati proses konvektivitas, ketebalan awan, serta mikro-fisis awan.
Lihat Juga :101 SCIENCE Kenapa Pelangi Tak Punya Warna Hitam? |
Selain itu BMKG juga memanfaatkan produk Himawari lainnya yakni Himawari-9 Potential Rainfall untuk mengestimasi potensi curah hujan.
Hal itu disajikan berdasarkan kategori ringan, sedang, lebat, hingga sangat lebat, dengan menggunakan hubungan antara suhu puncak awan dengan curah hujan yang berpotensi dihasilkan.
Sebelumnya, muncul perbedaan prediksi antara BMKG dengan peneliti Klimatologi pada Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin. Lewat akun twitternya, Erma mengungkapkan akan terjadi badai dahsyat pada Rabu (28/12) lalu, yang ternyata tak terjadi.
Erma sendiri mengaku menggunakan aplikasi berbasis satelit, Satellite Disaster Early Warning System (SADEWA) milik BRIN untuk melakukan prediksi tersebut. Belakangan, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengungkapkan prediksi badai dahsyat Jabodetabek 28 Desember adalah pendapat pribadi periset meski pihaknya menghargai kebebasan akademik.
"Kemarin adalah pendapat personal periset BRIN, bukan dari BRIN," ujar Laksana, dalam keterangan pers, Kamis (29/12).
Lebih lanjut,BRIN pun menegaskan SADEWA juga menggunakan satelit Himawari sebagai basis data.
"SADEWA merupakan aplikasi berbasis web yang terdiri dari sistem pemantauan atmosfer berbasis satelit Himawari-8, sistem prediksi atmosfer berbasis model Weather Research Forecasting (WRF), dan sistem peringatan dini hujan ekstrem," ujar Anis Purwaningsih, Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, dalam sebuah keterangan di situs BRIN, Rabu (28/12).
(lom/lth)