Kepala BMKG Dwikorita Karnawati memperkirakan sejumlah daerah bakal mengalami penurunan curah hujan di 2023 akibat fenomena El Nino. Alhasil, Indonesia akan masuk musim kemarau yang terbilang kering.
"Dengan adanya prediksi ini El Nino itu aliran massa udara basah dari Indonesia berbalik ke Samudera Pasifik. Jadi yang Indonesia menjadi kering karena aliran massa udara ini bergerak ke samudra pasifik jadi ini lawan dari La Nina," kata dia, Jumat (27/1).
Dwikorita mengatakan musim kemarau kering ini merupakan efek fenomena El Nino, yang merupakan kebalikan dari La Nina yang menyelimuti Indonesia sejak tiga tahun lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Poin ini yang harus disiapkan untuk menghadapi fenomena yang relatif yang basah 3 tahun kemarin, dan saat ini tiba-tiba menjadi kering," kata mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.
Berikut kronologi kedatangan kemarau kering:
Dwikorita mengungkap mulai Februari curah hujan ada "di bawah normal" di sejumlah wilayah, seperti Sumatera bagian tengah, Kalimantan bagian tengah, dan sebagian Papua.
"Perlu dicermati yang berwarna coklat-coklat (curah hujan rendah) mulai muncul di bulan Februari di Riau, Sumut, dan Jambi. Ini merupakan indikasi bahwa curah hujan bulanan menurun artinya rendah. Itu bisa dianggap sebagai kemarau," ungkap dia.
"Juga terjadi di Sulawesi dan di Papua. Perlu diwaspadai terjadi karhutla," lanjut Dwikorita.
Pada Maret, Dwikorita mengungkap mayoritas daerah masih punya curah hujan tinggi dengan beberapa provinsi mengalami penurunan.
"Riau masuk musim hujan relatif rendah," ujarnya, "Orang di wilayah Madura, Jatim, Nusa Tenggara harus mewaspadai curah hujan rendah kategori kurang dari 100 mm per bulan."
Kepala BMKG menambahkan pada Mei wilayah dengan kategori oranye hingga coklat alias curah hujan menengah hingga rendah itu semakin meluas.
"Jatim merata pada bulan Mei. Ini curah hujan rendah kurang 100 mm per bulan," ucapnya.
Dia juga mengatakan beberapa wilayah Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara menghadapi fase transisi pada Maret-Mei.
"Yang harus diwaspadai biasanya fenomena cuaca ekstrem yang sering muncul, angin kencang angin puting beliung dan bisa jadi hujan lebat meskipun singkat," urai dia.
Pada Juni, BMKG memperkirakan penurunan curah hujan terjadi di Maluku bagian utara serta Papua bagian tengah dan selatan. Pada saat yang sama, katanya, penurunan curah hujan di Jawa dan Sumatera semakin meluas.
"Juni-Juli semakin merona oranye-coklat, artinya curah hujan semakin rendah dan semakin luas," jelas Dwikorita.
"Bahkan di Jawa Timur coklat gelap, artinya curah hujan kurang mendekati 20 mm per bulan. Ini makin meluas seluruh Indonesia," tandasnya.
Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Dodo Gunawan memperkirakan El Nino yang terbilang lemah akan melanda setidaknya hingga Agustus. Ia pun memprediksi kekeringan tuntas pada Oktober.
"Peluang 50 persen untuk mengalami El Nino lemah itu pada periode Juni, Juli, Agustus. Dampak kekeringan, ya," ujar dia, dalam konferensi pers yang sama.
"Ini curah hujan berkurang, kita harus mengantisipasi kekeringan tapi inshallah engga panjang, Oktober semoga sudah selesai," tandas dia.
(can/arh)