Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ismail berharap Observatorium Bosscha menjadi pemantik mahasiswa hingga peneliti untuk membuat satelit.
Itu lantaran teknologi satelit dibutuhkan di negara kepulauan seperti Indonesia agar teknologi telekomunikasi bisa merata ke wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar alias 3T.
"Kami berharap dari Bosscha ini memberikan trigger dan pemicu kepada mahasiswa dan peneliti untuk mulai memikirkan adanya suatu riset yang berkesinambungan di bidang persatelitan," ujar Ismail dalam perayaan 100 tahun Bosscha, Senin (30/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ismail menjelaskan infrastruktur telekomunikasi tidak hanya dibangun dengan menggelar kabel fiber optik saja, tetapi harus dilengkapi juga dengan kehadiran satelit sebagai media komunikasi yang efektif bagi wilayah yang sulit dijangkau fiber optik.
Dia mengatakan Indonesia menjadi negara kepulauan yang sudah memiliki satelit sejak 1976. Sejak saat itu, kebutuhan akan layanan satelit makin bertambah setiap tahunnya. Dengan begitu geliat pengembangan satelit penting untuk berkembang.
"Pemahaman kita untuk industri ruang angkasa ini sangat penting, kebutuhannya dari tahun ke tahun meningkat, dari kapasitas satelit di seluruh dunia, Indonesia memiliki konsumsi yang besar,"tuturnya.
Ia menjelaskan ilmu soal satelit bukan menjadi benda ruang angkasa yang rumit, karena sudah ada teknologi nano satelit yang punya kemampuan yang tidak kalah dengan satelit orbit rendah (LEO) dan satelit orbit tinggi (GEO).
Lihat Juga :101 SCIENCE Kenapa Petir Bentuknya Tidak Lurus? |
Penelitian Bosscha, kata dia, tentu memiliki kontribusi aktif dalam pengembangan keilmuan dalam bidang astronomi dan upaya untuk membangun satelit nasional.
"Karena pada ujungnya digunakan kepentingan nasional baik komunikasi atau penginderaan, mengetahui kondisi cuaca, radar. Fungsi-fungsi ini sangat penting untuk dikembangkan," tuturnya.
Sebelumnya, Satelit nano pertama Indonesia yang berukuran 10 sentimeter diluncurkan ke orbit dari Stasiun Antariksa Internasional (ISS), Jumat (6/1). Satelit itu sebelumnya menumpang roket perusahaan milik Elon Musk, SpaceX untuk menuju ISS.
"Melalui pelepasan SS-1 ke orbit ini, kami berharap dapat mempromosikan Nano Satellite pertama Indonesia yang akan diorbitkan ke luar angkasa. Sekaligus juga ingin menginspirasi praktisi, akademisi dan peneliti generasi muda di Indonesia khususnya di bidang keantariksaan," ujar Setra Yoman Prahyang, Surya Satellite-1 Project Leader pada acara pelepasan SS-1 dari ISS di Kantor BRIN, Jakarta, Jumat (6/1).
SS-1 sendiri merupakan satelit nano atau cubesat yang berukuran 10 x 10 x 11.35 sentimeter dengan berat 1 hingga 1,3 kilogram, lebih kecil dari satelit mikro atau tubesat yang biasanya memiliki berat 50-70 kilogram.
Proyek SS-1 dikembangkan oleh tujuh orang mahasiswa yang saat ini sudah alumni dari Surya University, yaitu Hery Steven Mindarno, Setra Yoman Prahyang, M. Zulfa Dhiyaulfaq, Suhandinata, Afiq Herdika Sulistya, Roberto Gunawan, dan Correy Ananta Adhilaksma.
Misi utama dari Proyek SS-1 adalah APRS (Automatic Package Radio System) untuk kebutuhan Radio Amatir (ORARI) dan juga dapat difungsikan untuk komunikasi dan deteksi kebencanaan.
(can/lth)