Teori ini terbit 1915, sepuluh tahun sejak teori relativitas khusus. Untuk memahami relativitas umum, pertama-tama, mari kita mulai dengan gravitasi, gaya tarik-menarik yang diberikan dua benda satu sama lain.
Menurut tiga hukum gerak Sir Isaac Newton, gaya gravitasi yang menarik antara dua benda bergantung pada seberapa masif masing-masing benda dan seberapa jauh jarak keduanya.
Saat pusat bumi menarik Anda ke arahnya (membuat Anda tetap kokoh di tanah), pusat massa Anda menarik balik Bumi. Objek yang lebih masif memang hampir tidak merasakan tarikan Anda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Namun, dengan massa yang jauh lebih kecil, Anda tetap kukuh di tempatnya berkat gaya yang sama.
Hukum Newton berasumsi bahwa gravitasi adalah gaya bawaan dari suatu benda yang dapat bekerja pada jarak jauh.
Namun, Albert Einstein, dalam teori relativitas khususnya, dikutip dari Wired, menetapkan bahwa hukum fisika adalah sama untuk semua pengamat yang tidak dipercepat, dan dia menunjukkan bahwa kecepatan cahaya dalam ruang hampa adalah sama, terlepas dari kecepatan yang ditempuh pengamat.
Dia pun menemukan ruang dan waktu terjalin menjadi satu continum yang dikenal sebagai ruang-waktu (space-time). Dan peristiwa yang terjadi pada waktu yang sama untuk satu pengamat dapat terjadi pada waktu yang berbeda untuk yang lain.
Lihat Juga : |
Saat dia menyusun persamaan untuk teori relativitas umumnya, Einstein menyadari bahwa benda-benda masif menyebabkan distorsi dalam ruang-waktu.
Mudahnya, bayangkan trampolin yang di bagian tengahnya ada bola besar. Benda itu akan menekan menyebabkan lapisan tengah trompolin melengkung ke dalam.
Jika Anda mencoba untuk menggelindingkan kelereng di sekitar tepi trampolin, kelereng akan berputar ke dalam ke arah objek besar itu, ditarik dengan cara yang sama seperti gravitasi planet menarik bebatuan di ruang angkasa.
Contoh aplikasi teori ini adalah pelensaan gravitasi (gravitational lensing). Hal ini kerap ditemui pada peneropongan dengan menggunakan teleskop luar angkasa yang canggih, seperti Hubble dan James Webb.
Lihat Juga : |
Cahaya tampak membelok di sekitar objek masif, seperti lubang hitam, menyebabkannya bertindak sebagai lensa untuk benda-benda yang ada di belakangnya.
Para astronom pun rutin menggunakan metode ini untuk mempelajari bintang dan galaksi di balik objek masif.
Fisikawan Yohannes Surya dalam situsnya, Yohannessurya.com, menyebut pada teori relativitas umum, "Einstein memperhitungkan pengaruh gravitasi pada cahaya. Einstein menunjukkan bahwa lintasan cahaya akan mengalami pembelokan ketika berada dekat dengan benda-benda luar angkasa yang besar-besar itu."
Teori Einstein 'lulus ujian' ketika "menentukan gerakan presesi (gerak rotasi Bumi hingga membentuk kerucut bak gasing) dari perihelion orbit planet Merkuri."
"Kemudian pada tahun 1919 ketika terjadi gerhana matahari total di teluk Guinea, Afrika sekelompok ilmuwan Inggris berusaha membuktikan adanya pembelokan cahaya bintang ketika berada dekat sekali dengan matahari seperti yang diramalkan oleh Teori Relativitas Umum Einstein."
Pengujian terhadap Teori Relativitas Albert Einstein tidak berhenti sampai di situ. Profesor Fisika Simon Fraser University, Levon Pogosian dan Profesor Kosmologi University of Portsmouth, Kazuya Koyama mencoba menguji teori tersebut dan mempublikasikan studinya tahun lalu di jurnal Nature.
Mereka menguji teori Einstein untuk menjelaskan salah satu masalah terbuka dalam kosmologi yakni Tensi Hubble (Hubble Tension). Mengutip dari Big Think, Hubble Tension adalah ketidaksepakatan soal konstanta Hubble terkait tingkat ekspansi Semesta.
Satu nilai diprediksi oleh model parameter penciptaan semesta, Lambda CDM, yang dikembangkan untuk mencocokkan cahaya yang ditinggalkan oleh Ledakan Besar (Big Bang).
Satu nilai ekspansi lainnya diukur dengan cara mengobservasi bintang yang meledak yang diketahui sebagai Supernova pada galaksi yang jauh.
"Untuk menemukan apakah teori relativitas umum itu benar dalam skala besar, kami mengatur, untuk pertama kalinya investigasi simultan tiga aspek dari teori tersebut yakni ekspansi semesta, efek gravitasi terhadap cahaya, dan efek gravitasi terhadap material atau benda," tulis Pogosian dalam artikelnya di The Conversation.
Pogosian dan timnya juga memanfaatkan metode statistik yang disebut Inferensi Bayesian untuk merekonstruksi gravitasi Semesta lewat sejarah kosmik dalam model berbasis komputer ke tiga parameter tersebut.
"Kami bisa mengestimasi parameter menggunakan data dari satelit Planck, katalog Supernova, dan observasi terhadap bentuk serta distribusi galaksi yang jauh menggunakan teleskop SDSS dan DES. Kami lalu mengkomparasi rekonstruksi kami dengan prediksi model LCDM (secara esensial model Einstein)" tulisnya.
Lihat Juga : |
"Kami menemukan petunjuk menarik soal kemungkinan ketidakcocokan prediksi Einstein, meskipun dengan signifikansi statistik yang kecil. Itu artinya, ada kemungkinan gravitasi bekerja secara berbeda pada skala yang besar dan teori relativitas umum mungkin perlu dimodifikasi," imbuh Pogosian.
Pogosian mengakui, dalam studinya, ia dan tim menemukan Hubble Tension sulit dipecahkan jika hanya mengubah teori gravitasi.
"Solusi penuhnya mungkin membutuhkan resep baru dalam model kosmologikal, hadir sebelum saat proton dan elektron pertama kali bergabung untuk membentuk hidrogen sesaat setelah Big Bang, semisal bentuk spesial dari energi gelap. Atau, bisa saja ada eror pada data yang belum kami ketahui." tulisnya.
(can/arh)